Senin, 10 Januari 2011

kepemimpinan

KEPEMIMPINAN (leadership)

diartikan sebagai kemampuan untuk memegaruhi suatu kelompok guna mencapai visi atau serangkaian tujuan yang sudah ditetapkan.

Kepemimpinan adalah kebutuhan dasar umat manusia,tetapi tidak sembarang pemimpin dapat melakukannya. Tidak mudah mencari sosok pemimpin ideal.

Selama ribuan tahun, tak terhitung banyaknya penobatan, kudeta, pelantikan, pemilu dan perubahan rezim. Raja, perdana menteri, pangeran, presiden, sekretaris jendral dan diktator datang silih berganti.

Sejarah membuktikan seorang penguasa biasanya akan mendapat respek dan dukungan rakyat jika ia memberi kadar kedamaian yang masuk akal dan kondisi hidup yang terjamin. Jika rakyat hilang percaya, orang lain mungkin akan segera mengantikan. Kondisi hidup yang buruk, kediktatoran dan keinginan akan perubahan biasanya menjadi pemicu pergantian.

Penulis mencoba mengurai ciri-ciri pemimpin yang ideal untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih pemimpin efektif.

Karismatik

Bila kita menengok sejarah para pemimpin yang kuat seperti Napoleon, Mao Tze Tung, Churchil, Margaret Thatcher, Ronald Reagen, Bung Karno, Gandhi, semuanya merupakan orang-orang yang sering kali disebut sebagai pemimpin karismatik .

Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan karismatik, ilmuwan dan sosiolog Max Weber punya definisi sendiri. Lebih dari seabad lalu ia mengatakan karismatik sebagai sifat dari seseorang yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural. Artinya tidak dimiliki oleh orang biasa, karena merupakan kekuatan yang bersumber dari Ilahi.

Telaah literatur menunjukan adanya empat karakteristik sehubungan dengan pemimpin karismatik. Yaitu memiliki visi, bersedia mengambil risiko pribadi untuk mencapai visi tersebut, sensitif terhadap kebutuhan bawahan dan memiliki prilaku yang luar biasa.

Indonesia pernah memiliki Bung karno yang masuk dalam kategori pemimpin karismatik. Memiliki visi memerdekakan Indonesia walau dengan risiko harus keluar masuk bui. Dia juga berani mengambil sikap demi mencapai visi.

Penulis berpendapat kepemimpinan karismatik merupakan salah satu dari jenis kategori ideal. Tetapi untuk mencari sosok pemimpin yang benar-benar ideal, karismatik saja belumlah cukup. Perlu kecerdasan emosional yang membuat kepemimpinan seseorang menjadi lebih efektif.

Karakteristik Kepemimpinan yang Efektif

Ada beberapa karakteristik dari kepemimpinan yang efektif yang dikemukan oleh berbagai tokoh antara lain:

1. Gordon (1991) kepemimpinan yang efektif meliputi:

(1) pemimpin harus mengenal dan mengetahui kebutuhan bawahan,
(2) pemimpin harus meningkatkan pemberian hadiah kepada bawahannya yang berprestasi,
(3) pemimpin harus dapat memfasilitasi jalan untuk mendapatkan hadiah dengan memberi pengarahan dan bimbingan,
(4) pemimpin seharusnya membantu bawahan mengklarifikasi harapannya dengan memberi contoh usaha yang mengarah pada kinerja yang tinggi,
(5) pemimpin harus mengurangi hambatan-hambatan yang membuat frustrasi bawahan dalam memperoleh hadiah dan hasil, dan
(6) pemimpin harus meningkatkan kesempatan untuk kepuasan pribadi yang merupakan hasil dari kinerja yang efektif.

2. Bennis yang dikutip Bliss (1999) mengemukakan bahwa pemimpin adalah orang yang memiliki karakteristik:

(1) inovatif,
(2) fokus pada orang,
(3) membangun kepercayaan,
(4) memiliki perspektif jangka panjang,
(5) menanyakan apa dan mengapa,
(6) memiliki pandangan yang luas dan melebar,
(7) memiliki orisinalitas,
(8) suka tantangan.

3. Hogan dkk (1994) dan Robinson (2000) mengemukakan 5 karakteristik khusus dari kepemimpinan yang efektif, yaitu:

(1)kecerdasan mental (mental agility), pemimpin memiliki minat yang besar, rasa ingin tahu dalam segala hal, memiliki rasa ingin tahu tentang orang lain dan motivasi yang mendasarinya, terbuka pada pengalaman baru, suka membaca dan suka akan tantangan.

(2) stabilitas emosi, pemimpin yang memiliki nilai yang tinggi pada stabilitas emosi cenderung memiliki sifat: percaya diri, penerimaan diri (self acepting), keseimbangan (balanced), tahan terhadap stress, toleran terhadap ketidakpastian, dapat bekerja dibawah tekanan, fleksibel dan efektif dalam menangani konflik dan umpan balik negatif,

(3) (surgency), yaitu pemimpin selalu bersifat terbuka, asertif, dan memiliki energi yang tinggi, berani mengambil keputusan,

(4) (conscientiousness), yaitu pemimpin memiliki sifat hati-hati dan sabar, motivasi yang tinggi untuk berprestasi, tanggungjawab, integritas yang tinggi, memiliki etos kerja, memiliki kemampuan mengorganisasi, dan

(5) (agreeableness) yaitu pemimpin dapat kooperatif, dapat berdiplomasi, bersahabat, pembicara yang efektif, dan dapat dipercaya.

4. Bliss (1999) semua pemimpin memiliki karakteristik sifat-sifat yang umum yaitu:

(1) mengarah pada visi dan tujuan,
(2) memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan kemauannya kepada orang lain,
(3) memiliki integritas meliputi: pengetahuan diri (self knowledge) yaitu tahu akan kelemahan dan kelebihan dirinya sendiri, terus terang (candor), dan kematangan (maturity) yang merupakan hasil belajar yang telah dijalani.

5. Steers (1985) menyoroti rintangan-rintangan dalam keefektifan kepemimpinan, yaitu:
(1) ketrampilan dan sifat dari pemimpin dapat menjadi kendala dalam menjadi pemimpin yang efektif. Misal, penelitian tentang kepemimpinan menunjukkan bahwa pemimpin yang efektif memiliki karakteristik pribadi tertentu. Kekurangan dari ketrampilan tersebut dapat menghalangi perilaku pemimpin yang efektif,

(2) ketidakmampuan pemimpin dalam membuat berbagai gaya kepemimpinan dalam situasi yang tepat,

(3) pada tingkat tertentu, pemimpin harus mengontrol sistim pemberian hadiah seperti menaikkan gaji, promosi dan lain-lain,

(4) karakteristik dari situasi kerja juga dapat menyebabkan ketidakefektifan kepemimpinan.

6.Klemm (1999) menyoroti ciri-ciri pemimpin kreatif yang berkorelasi positif dengan kepemimpinan yang efektif. Menurut Klemm ada 5 ciri-ciri pemimpin yang kreatif meliputi:

(1) memiliki tingkat kecerdasan yang cukup tinggi,
(2) dapat menerima informasi dengan baik (well informed),
(3) memiliki pemikiran yang asli (original thinkers),
(4) menjawab pertanyaan dengan benar (ask the right questions), dan
(5) disiapkan untuk menjadi kreatif (prepared to be creative).

7. Dunning (2000) mengemukakan 4 kompetensi yang menentukan keberhasilan pemimpin yang baru di era milenium, yaitu:

(1) harus memahami dan mempraktekkan pentingnya suatu penghargaan terhadap kemampuan, sehingga pemimpin dituntut memiliki kemampuan,
(2) senantiasa mengingatkan bahwa pentingnya mengembangkan bawahannya,
(3) senantiasa memberikan kepercayaan kepada bawahannya, dan
(4)menjalin keakraban dengan rekan sekerja.

9. Kane (1998) menyoroti aspek-aspek yang paling relevan untuk dimiliki pemimpin pada era melinium yaitu:
(1) kompetensi dasar (core competencies) seperti: inteligensi, integritas (integrity) dan perhatian (caring),
(2) ketrampilan/pengetahuan (skills/knowledge), membangun tim (team building), mengorganisir bawahan (people management), keterlibatan pada aktivitas di masyarakat (community involvement), dapat mengelola konflik secara produktif (productive use of conflict) dan kecerdasan emosi (emotional intelligence),
(3) sikap terhadap keberhasian kepemimpinan (attitudes for successful leadership), yaitu: memiliki komitmen (comitment), perbaikan yang terus menerus (continuous improvement)

Kecerdasan Emosi

Selain sifat-sifat kepemimpinan yang ideal, perlu disertai kecerdasan emosional (emotional intelligence). Walaupun pemimpin memiliki pendidikan luar biasa, kemampuan analisis tajam, visi yang hebat dan ide-ide cemerlang, tetap saja tidak bisa menjadi pemimpin yang besar dan efektif jika tidak memiliki kecerdasan emosi.
Kecerdasan Emosi
Istilah kecerdasan emosi pertama kali berasal dari konsep kecerdasan sosial yang dikemukakan oleh Thorndike pada tahun 1920 dengan membagi dalam 3 bidang kecerdasan yaitu:

(1) kecerdasan abstrak, seperti: kemampuan memahami dan memanipulasi simbol verbal dan matematika,
(2) kecerdasan kongkrit kemampuan memahami dan memanipulasi objek, dan
(3) kecerdasan sosial, yaitu kemampuan berhubungan dengan orang lain (Goleman, 1995). Kecerdasan sosial menurut Thorndike yang dikutip Goleman (1995) adalah kemampuan untuk memahami dan mengatur orang untuk bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan,

meliputi: kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan untuk mengelola diri sendiri, sedangkan kecerdasan interpersonal adalah kemampuan memahami orang lain.
Kemudian konsep kecerdasan emosi berkembang menjadi istilah emosi yang dikemukakan oleh Mayer dan Salovey pada tahun 1993 (Davies,1998; Kierstead, 1999; Caruso, 2000; Simmons, 2001 dan Goleman, 2000) dengan memberikan definisi emosi yang merupakan kompilasi dari 4 macam ketrampilan, yaitu:

1) mengidentifikasi emosi (identifying emotions), yaitu kemampuan mengenali dan merasakan perasaannya,
2) menggunakan emosi untuk memfasilitasi pikiran (using emotion to facilitate thought), yaitu kemampuan mengekspresikan emosi dan kemudian memberi alasan dengan emosinya,
3) memahami emosi (understanding emotions), yaitu kemampuan emosi secara kompleks dan rangkaian emosi serta bagaimana emosi berpindah dari satu tahap ke tahap lainnya, dan
4) mengelola emosi (managing emotions), yaitu kemampuan untuk mengelola emosi diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain.

Dewasa ini, pengertian kecerdasan emosi berkembang tidak hanya sekedar 4 ketrampilan, tetapi lebih luas. Menurut Goleman yang dikutip Bliss (1999), kecerdasan emosi didefinisikan suatu kesadaran diri, rasa percaya diri, penguasaan diri, komitmen dan integritas dari seseorang, dan kemampuan seseorang dalam mengkomunikasikan, mempengaruhi, melakukan inisiatif perubahan dan menerimanya. Atau dengan kata lain Goleman (2000) memberi pengertian kecerdasan emosi merujuk kepada kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi secara baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.

Dalam buku yang terbaru bekerja dengan kecerdasan emosi dalam konteks dunia kerja, Goleman yang dikutip oleh Blisss, (1999); Simon (2001) membagi 2 wilayah dari kerangka kecerdasan emosi, yaitu:

(1) kompetensi pribadi (personal competency), yaitu bagaimana mengatur diri sendiri yang terdiri dari:
a) kesadaran diri (self awareness), yaitu kemampuan untuk mengenal perasaan dirinya sendiri,
b) kemampuan mengatur diri sendiri (self regulation/ self management) yaitu kemampuan mengatur perasaannya dan
c) motivasi (motivating) yaitu kecenderungan yang memfasilitasi dirinya sendiri untuk mencapai tujuan walaupun mengalami kegagalan dan kesulitan.

(2) kompetensi sosial ( social competence), yaitu kemampuan mengatur hubungan dengan orang lain, yang terdiri dari

(a) empati, yaitu kesadaran untuk memberikan perasaan/perhatian, kebutuhan dan kepedulian kepada orang lain, dan
(b) memelihara hubungan sosial, yaitu mengatur emosi dengan orang lain, ketrampilan sosial seperti: kepemimpinan, kerja tim, kerjasama dan negosiasi.




Alat Ukur Kecerdasan Emosi

Hingga saat ini banyak alat ukur yang mengungkap kecerdasan emosi. Pada kajian ini penulis hanya menguraikan alat ukur yang pernah dikembangkan oleh beberapa peneliti, yaitu:

(1) MSCEIT (Mayer, Salovey, Caruso emotional intelligence test) yang dikembangkan oleh Dr. Jack Mayer, Dr. Peter Salovey dan Dr. David Caruso yang terdiri dari 4 ketrampilan yaitu: mengidentifikasi emosi, menggunakan emosi, memahami emosi dan mengelola emosi. Tes ini lebih mengarah kepada mengukur kemampuan kecerdasan emosi (ability measure).

(2) Baron EQ-I (Baron Emotional Quotient-Intelligence). Tes ini diciptakan oleh Baron. Aspek-aspek yang diukur antara lain: a) ketrampilan intrapersonal seperti: kesadaran diri, asertif, aktualisasi diri dan kemandirian, b) ketrampilan interpersonal seperti: empati, hubungan interpersonal, dan tanggungjawab sosial, c)mengelola stress seperti: pemecahan masalah, tes realitas dan fleksibilitas, dan d) kemampuan beradaptasi (adaptability) seperti: toleransi terhadap stress, mengontrol impuls.Tes ini mengarah pada bentuk self report.

(3) EQ Map (Emotional Quotient Map). Tes ini dikembangkan oleh Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf (2001) yang melakukan penelitian pada manajer eksekutif dan profesional dari ratusan organisasi perusahaan. Aspek-aspek yang diukur antara lain:
a) ketrampilan kecerdasan emosi seperti: kesadaran diri emosi, kesadaran emosi terhadap orang lain dan ekspresi emosi,
b) kecakapan emosi seperti: intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan antar pribadi dan ketidakpuasan konstruktif,
c)nilai-nilai dan keyakinan seperti: belas kasihan, sudut pandang, intuisi, radius kepercayaan, daya pribadi dan integritas.

(4) ECI (Emotional Competence Inventory). Tes ini mengukur aspek-aspek antara lain:

a) kesadaran diri (self awareness) seperti: kesadaran emosi diri, ketepatan mengases diri (accurate self assesment) dan kepercayaan diri (self confidence)
b) kesadaran sosial (social awareness) seperti empati, kesadaran organisasi dan berorentasi pada pelayanan,
c) manajemen diri (self management), seperti: penguasaan diri (self control), sifat dapat dipercaya (trustworthiness), kehati-hatian (consentiousness), kemampuan beradaptasi (adaptability), orientasi berprestasi (achievement orientation), inisiatif (initiative),
d) ketrampilan sosial seperti: mengembangkan prang lain (developing others), kepemimpinan, mempengaruhi, komunikasi, manajemen konflik (conflict management), katalis perubahan (change catalist), kerjasama tim (teamwork) dan menjalin hubungan dengan orang lain.

Pentingnya Kecerdasan Emosi bagi Pemimpin yang Efektif

Kecerdasan emosi dewasa ini sangat dibutuhkan dalam semua bidang kerja. Yate (1997) yang dikutip Caruso (2000) membuat penelitian yang sangat menarik dengan mengungkap peranan kecerdasan emosi dalam karir dan tempat kerja dengan mengacu seberapa besar kecerdasan emosi sebagai syarat yang dibutuhkan untuk keberhasilan kerja. Berikut daftar pekerjaan yang membutuhkan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi (dari tertinggi hingga ke terendah):

dokter jiwa, pekerja sosial, spesialis merawat orang manula, dokter medis keluarga, ahli terapi fisik, guru/kepala sekolah, manajer sumber daya manusia, manajer pelatihan, polisi, dokter gigi,wartawan, pemasar, editor, agen asuransi, ahli kacamata, sekretaris, agen perjalanan, asisten medis, pelayan, insinyur piranti lunak, ahli geofisik,

Dari berbagai penelitian juga dibuktikan bahwa kecerdasan emosi sangat dibutuhkan bagi pemimpin yang efektif. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Patricia Pitcher’s yang dikutip oleh Bliss (1999) menyimpulkan bahwa pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi tinggi lebih berhasil dibandingkan dengan pemimpin yang tanpa kecerdasan emosi. Bennis yang dikutip Simmons (2001) juga mendukung peneliti sebelumnya dengan mengatakan bahwa kecerdasan emosi lebih berpengaruh dibandingkan dengan inteligensi (IQ) dalam menentukan pemimpin yang efektif. Penelitian yang dilakukan Cooper (1997) menyebutkan bahwa orang dengan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi lebih berhasil dalam karir pekerjaan, dapat membangun hubungan personal yang lebih baik, memimpin lebih efektif, dapat menikmati kesehatan lebih baik dan dapat memotivasi dirinya sendiri dan orang lain. Lebih lanjut Cooper menjelaskan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dapat meningkatkan kekuatan intuisi, senantiasa mempercayai dan dipercayai oleh orang lain, memiliki integritas, dapat memecahkan solusi dalam keadaan yang darurat dan dapat melakukan kepemimpinan yang efektif.

Seorang pemimpin yang efektif menggunakan pengaruh hubungan personil dalam mempengaruhi orang lain. Hubungan personil dibangun menggunakan ketrampilan kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi tidak hanya membedakan pemimpin yang menonjol dengan yang tidak, tetapi juga berkaitan dengan kinerja yang baik (Goleman, 1998).

Penelitian lain yang sejenis dilakukan Fieldman yang dikutip Simmon (2001), menyimpulkan bahwa pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi yang baik secara langsung dapat mempengaruhi kinerja bawahannya dan produktivitas dalam segala hal. Cooper dan Sawaf (1998 dan 2001) yang menyoroti perbedaan kecerdasan emosi dari pemimpin dapat membuat faktor keberhasilan karir dan organisasi dalam hal:

1) pengambilan keputusan,
(2) kepemimpinan,
(3) komunikasi secara jujur dan terbuka,
(4) hubungan yang saling mempercayai dan kerjasama tim, dan
(5) kepuasan pelanggan.

Penelitian lain yang berkaitan dengan kecerdasan emosi juga dilakukan oleh beberapa ahli. Seperti yang dilakukan oleh Simmon (2001) dengan mengaitkan antara jenis kelamin (gender) dengan kecerdasan emosi didapatkan kesimpulkan bahwa orang wanita rata-rata lebih baik kecerdasan emosi dalam hal kesadaran dirinya, empati dan ketrampilan sosialnya, sementara orang pria rata rata lebih baik kecerdasan emosi dalam bidang kepercayaan diri, optimistik, dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan daya tahan terhadap stres.

Sementara itu Baron menyelidiki pengaruh kecerdasan emosi dengan tingkat usia, diperoleh hasil ada pengaruh yang konsisten antara usia dengan kecerdasan emosi, yaitu nilai total kecerdasan emosi meningkat dengan pertambahan usia dan puncaknya pada akhir tahun ke-40 dan awal tahun ke-50. Penelitian ini menunjukkan bahwa kematangan emosi berasal dari usia dan pengalaman, dimana orang yang lebih tua dapat mengatasi tuntutan lingkungan dari orang yang lebih muda.

Atau secara umum orang yang lebih tua memiliki beberapa kelebihan dibandingkan orang yang lebih muda yaitu:

(1) mandiri dalam cara berfikir dan bertindak,
(2) sadar akan perasaan orang lain,
(3) memiliki tanggung jawab sosial,
(4) dapat beradaptasi,
(5) dapat mengatasi masalah, dan
(6) dapat mengatur tingkat stres.



Tetapi mengapa Emotional Intelligence begitu penting bagi kemimpinan yang efektif? Ini jawabnya, salah satu komponen inti Emotional Intelligence adalah empati.
Sejarawan Fred Greenstein mengadakan penelitian dan menunjukan Emotional Intelligence merupakan salah satu unsur terpenting untuk meramalkan kebesaran seorang pemimpin.

Jelas argumen dari sejarawan ini bisa dikatakan benar, karena jika seorang pemimpin tidak memilki sifat empati dan mendengar apa yang dikatakan oleh bawahan ataupun masyarakat yang dipimpinnya, maka akan menjadikan dia pemimpin yang cendrung diktator.

Di Amerika Serikat, cendrung memilih pemimpin (presiden) yang memiliki Emotional Intelligence tinggi dibanding pemimpin yang cerdas dalam berpolitik.
Hal ini nampak ketika George W Bush memenangkan Pemilu 2004, mengalahkan lawannya Jhon Kerry. Seorang komentator politik menjelaskan sikap mayoritas suara rakyat USA, “Rakyat menangkap bahwa Kerry memiliki Emotional Intelligence lebih rendah dari pada Bush. Walaupun Kerry memiliki kecerdasan politik yang lebih tinggi, tetapi Bush memiliki kecerdasan bangsa yang jauh lebih baik. Tercermin dari sikap Bush saat melakukan kampanye yang lebih memberi kesan secara emosional, berbicara dengan jelas, sederhana, penuh semangat dan Dia menang.“

Musuh utama

Masalahnya sekarang, musuh utama dari kepemimpinan yang efektif adalah kekuasaan yang dapat merubah visi utama dari seorang pemimpin.
Kekuasaan selama ini dianggap sebagai kata yang paling kotor. Mereka yang mencoba dan belum mendapatkan kekuasaan akan terus mengejar. Mereka yang pandai mendapatkan akan merahasiakan cara untuk memenangkannya. Kita mungkin sudah mendengar ungkapan power corroupts,absolute power corroupts absolutely (kekuasaan itu korup dan kekuasaan penuh akan sepenuhnya korup).
Para pemimpin akan menggunakan kekuasaan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan kelompok, dan kekuasaan adalah sarana untuk memudahkan usaha mereka.
Kekuasaan terfokus bukan hanya pengaruh kepada pengikut atau bawahan, tapi melebarkan pengaruh ke samping atau dengan kata lain ingin menguasai secara menyeluruh. Padahal pemimpin memiliki keterbatasan sebagai pribadi-pribadi yang tidak sempurna.


Pemimpin ideal

Pemimpin yang ideal harus memenuhi aspek-aspek kepribadian yang unggul. Berikut ini adalah ciri dari kepribadian seorang pemimpin yang ideal.

Pertama: Memiliki integritas, berprilaku jujur dan lurus sehingga dapat menantang musuh-musuhnya dihadapan umum. Tidak munafik, sehingga masyarakat akan tergerak untuk menjadi pendukungnya (karismatik).

Kedua: Peduli terhadap masyarakat, memberi dukungan moril, materil, penghiburan bagi orang-orang yang tertekan, mendengarkan dan empati (emotional Intellgence).

Ketiga: Mau bekerja, menyelesaikan semua tugas-tugas sebagai seorang pemimpin, tanggap ketika rakyatnya membutuhkan pertolongan, mau melayani masyarakat bukan hanya dilayani turun kebawah).

Penulis melihat ciri-ciri dari sosok pemimpin yang ideal di atas, masih jauh dari kenyataan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila banyak masyarakat hilang harapan untuk mendapatkan pemimpin ideal. Tapi bukan berarti sosok pemimpin yang ideal itu tidak ada.

Melihat kondisi sekarang, penulis berharap masyarakat bisa berpikir luas, lebih cerdas, lebih objektif, tidak terpengaruh bujuk manis atau politik uang dalam menentukan pilihan kepada calon –calon pemimpin di daerahnya.
Semoga saja, dalam pesta demokrasi pemilihan umum kepala daerah yang sebentar lagi akan berlangsung, sosok pemimpin ideal jadi pertimbangan utama. Jangan buta karena pengaruh sesaat.

Pemimpin memiliki manajemen diri dan manajemen waktu yang baik san efektif .

Tanggung jawab kepemimpinan bukanlah sesuatu hal yang dapat dijalankan dengan mudah. Tetapi, semakin besar tanggung jawab kepemimpinan itu, semakin besar pula penghargaan yang diberikan jika dapat memenuhi peranan tersebut.

Jika suatu bangsa dapat memilih para pemimpinnya dengan baik, maka bangsa tersebut akan berkembang dan menjadi negara yang besar. Tetapi, jika salah memilih pemimpin, bangsa tersebut akan menuju kehancuran. Keberhasilan dan jatuhnya suatu negara berada di tangan para pemimpinnya.

Ini sama halnya seperti dalam dunia bisnis. Tidak peduli betapa hebatnya kemampuan para pekerja di suatu perusahaan, jika kepemimpinannya kurang, maka perusahaan tersebut akan segera mengalami kebangkrutan. Tetapi, jika sang pemilik atau para direksi menyediakan suatu kepemimpinan yang handal, maka perusahaan tersebut akan berkembang dan berhasil.

Orang biasa cenderung untuk meniru para pemimpinnya. Mereka mulai meniru para pemimpinnya bukan hanya dalam hal penggunaan kata-kata dan kelakuan, tetapi mereka juga meniru cara berpikir para pemimpin mereka. Coba kita lihat komunitas milist (mailing list). Jika pemimpin milist ini handal, maka seluruh komunitas milist ini akan meningkat hari demi hari. Sebaliknya, jika komunitas milist ini kurang dalam hal kepemimpian maka komunitas milist ini akan mengalami banyak penurunan.
Ada empat kualitas yang dapat membantu kita untuk mengembangkan kepemimpinan kita :

Yang pertama, untuk menjadi seorang pemimpin yang handal, kita harus dengan cepat memahami kebutuhan orang-orang dan memenuhinya. Sebagai contoh, seorang pedagang harus dengan cepat memahami kebutuhan para produsen, konsumen dan situasi terkini dalam pendistribusian order agar dapat meraih sukses dalam bisnisnya.

Ketika kita melakukan suatu bisnis di pasar dunia, perluasan kapasitas produksi tidak akan menjamin kesuksesan dalam bisnis kita. Ketika melakukan produksi, kita harus memahami dan menganalisa status produksi dari barang-barang di seluruh dunia dan berdasarkan itu kita harus mencocokkannya dengan pabrik kita. Hanya analisa yang teliti dan pemahaman yang sepenuhnya yang dapat membawa kesuksesan.

Sama seperti hal di atas, mereka yang kurang memiliki kemampuan dalam memahami dan menganalisa kebutuhan orang lain tidak dapat menjadi seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus terus menerus tanggap dan harus bisa menganalisa. Apa yang dibutuhkan pasar? Apa yang sedang mereka pikirkan? Dalam hal apa mereka membutuhkan pembaharuan? Pertanyaan-pertanyaan ini harus selalu ada di dalam pikiran para pemimpin.

Yang kedua, untuk menjadi seorang pemimpin yang handal, kita harus memiliki kemampuan untuk membuat orang lain sukses. Di antara berbagai macam tipe pemimpin, ada tipe pemimpin otoriter. Para pemimpin otoriter tidak mempedulikan ide-ide atau pendapat dari orang yang berada di bawahnya. Para pemimpin tipe ini menyuruh orang-orang agar mematuhi perintah-perintahnya. Mereka ini akan memanfaatkan bawahan mereka, lalu mengabaikannya.

Tipe lainnya yaitu tipe pemimpin mekanis. Mereka ini sangat terikat dengan aturan-aturan yang mereka ikuti. Tipe pemimpin seperti ini telah kehilangan rasa kemanusiaannya dan menjadi mesin virtual. Pemimpin seperti ini tidak dapat membantu orang lain agar menjadi sukses.

Ada beberapa pemimpin yang dengan senang hati membantu orang lain agar menjadi sukses. Menolong orang lain bukan berarti mengambil orang-orang dari jalanan dan mentoleransi kemampuan mereka yang kurang. Seorang pemimpin yang mampu membantu orang lain agar menjadi sukses mula-mula harus mampu mengevaluasi orang lain, kemudian mengarahkan mereka kepada tanggung jawab yang sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan demikian, mereka dapat bekerja dengan senang dan mendapatkan kesempatan untuk dipromosikan.

Memastikan bahwa orang yang tepat telah ditempatkan di tempat yang tepat merupakan tanggung jawab seorang pemimpin. Untuk melakukan hal ini, seorang pemimpin harus mempunyai minat dan fokus yang tetap terhadap orang-orang yang mereka pimpin. Dengan melihat talenta yang berbeda-beda di dalam diri tiap-tiap orang, seorang pemimpin harus mampu mendorong mereka untuk mengembangkan talentanya. Apabila sang pemimpin menemukan bahwa seseorang sedang berusaha dan sedang berjuang dengan pekerjaan yang sebenarnya tidak cocok untuknya, maka pemimpin tersebut harus mencarikannya pekerjaan baru. Sedangkan terhadap orang-orang yang kurang mempunyai kemampuan, sang pemimpin harus mendorong dan mengajari mereka sehingga mereka menjadi mampu untuk melakukan pekerjaannya. Kita semua harus mempraktekkan kepemimpinan yang seperti ini.

Yang ketiga, untuk menjadi seorang pemimpin yang handal, kita harus selalu memiliki semangat untuk mempelopori dan harus selalu bergerak maju. Kebanyakan orang hanya diam di tempat, mereka hanya berusaha agar keadaan tetap seperti itu. Ini dikarenakan mereka lebih memilih untuk amannya saja daripada hidup dalam ketidakpastian.

Apabila seorang pemimpin hanya mencari rasa aman saja sewaktu ia memimpin suatu kelompok, maka ia telah kehilangan tujuannya sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang handal harus mempunyai sifat petualang dan agresif. Ide-ide baru harus dipikirkan dan diterapkan meskipun ide-ide tersebut mungkin mengakibatkan ketidakpastian dan membawa bahaya. Pertumbungan dan perkembangan selalu diikuti oleh sejumlah bahaya.

Seorang pemimpin harus terus mengembangkan dan memperluas dirinya agar dapat menjadi pemimpin yang lain daripada yang lain. Saya telah mendapatkan banyak kesempatan untuk bertemu dengan para pemimpin yang terkenal di dunia dan berbicara dengan mereka. Saya telah menemukan bahwa mereka semua mempunyai satu persamaan yaitu: mereka semua terlihat sedikit fanatik di dalam beberapa hal tertentu. Mereka kadang-kadang mengatakan hal-hal yang sulit dimengerti dengan sudut pandang biasa. Mereka semakin menjauh dari realita dan menemukan hal-hal yang baru untuk dikerjakan. Oleh karena itu, orang-orang yang benar-benar berpegang pada realita akan mengalami kesulitan untuk memahami mereka.

Untuk menjadi seorang pemimpin yang handal, pikiran kita harus lebih maju daripada orang lain, dan kita harus menjadi pemimpin yang selalu bekerja keras.Oleh karena itu, kita harus memiliki gol yang jauh ke depan dan berusaha keras untuk meraihnya dengan segala usaha. Maka kita dapat menjadi pemimpin-pemimpin yang handal.

Yang keempat, untuk menjadi seorang pemimpin yang handal, kita harus menginvestasikan semua usaha kita untuk pengembangan diri. Kita harus membayangkan seberapa banyak kita telah mengembangkan dan meningkatkan diri sejak tahun lalu sambil bertanya, "Apa yang bisa saya lakukan untuk menjadi seorang pemimpin yang lebih baik lagi? Bagaimana caranya agar saya dapat menjalankan tugas saya sebagai pemimpin dengan lebih efektif?". Selain itu, kita harus melakukan yang terbaik untuk pengembangan diri kita.

Saya menghabiskan banyak energi untuk melakukan pengembangan dan peningkatan diri. Saya selalu berpikir tentang bagaimana meningkatkan diri saya sendiri dalam kehidupan sehari-hari.

Lihatlah para CEO atau para eksekutif perusahaan. Tentu saja mereka sangat sibuk dengan pekerjaan mereka. Tetapi jika kita melihat mereka lebih dekat, kita akan terkejut karena kita akan menemukan bahwa mereka banyak menghabiskan waktu mereka untuk mengembangkan dan meningkatkan diri. Ketika kita tidak bisa merefleksikan pada diri kita sendiri untuk menemukan kelemahan-kelemahan yang perlu dikuatkan, maka kita akan menemukan bahwa kita tidak akan mampu memimpin.

Apabila kita mengikuti panduan ini, maka kita pasti akan menjadi pemimpin-pemimpin yang handal dan kita akan mampu memimpin orang-orang yang berada di bawah kita secara efektif dan bijaksana agar mereka dapat mencapai kesuksesan.
Simpulan
Pemimpin yang efektif sangat diperlukan di era globalisasi. Karakteristik pemimpin yang dapat merealisasikan visi menjadi kenyataan, memilik perspektif jangka panjang, dapat mengembangkan bawahan, inovatif, kreatif, memiliki kecerdasan emosi dan karakteristik lainnya merupakan sesuatu yang menentukan suksesnya pemimpin untuk bisa bersaing di era globalisasi.
Kecerdasan emosi merupakan aspek sangat dibutuhkan dalam semua bidang kerja dan dalam kehidupan bermasyarakat. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi lebih cenderung sukses dalam dunia kerja dan dalam hidup di masyarakat. Dengan demikian orang yang memiliki kompetensi pribadi (kesadaran diri dan kemampuan mengelola diri sendiri) dan kompetensi sosial (motivasi, empati dan ketrampilan sosial) yang merupakan aspek dari kecerdasan emosi cenderung lebih berhasil dalam segala bidang pekerjaan dan kehidupan.

Daftar Rujukan
Baron. Tanpa tahun, ( Online), (htpp://gwimi,imi.ie/eqhtml/articles_eqand_age.shtml. diakses 23 September 2001).
Bliss, S.E. 1999. The Affect of Emotional Intelligence on a Modern Organizational Leader’s Ability to Make Effective Decision, (Online), (htpp://eqi.org/mgtpaper.htm, diakses 23 September 2001)
Caruso, D.R. 2000. Applying the Ability of Emotional Intelligence to The World of Work, (Online), (htpp:// gwimi.imi.ie/eqhtml/articles_eq_and_gender.shtml, diakses 21 September 2001)
Cooper, R.K.1997. Leadership High ‘EQ’ among execs promotes trust in the workplace, (Online), (htpp://www.aednet.org/dec97/eq.htm, diakses 23 September 2001)
Cooper, R.K., & Sawaf, A. 1998. Emotional Intelligence in the Leadership Organizations, (Online), (htpp://www.feel.org/articles/cooper_sawaf.html, diakses 25 September 2001)
Cooper, R.K & Sawaf, A. 2001. Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Alih Bahasa: Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama
Davies, M. 1998. Emotional Intelligence-Old Wine in New Bottles ?,(Online), (htpp://www.humanassets.co.uk/EQ0999.htm, diakses 23 September 2001)
Davies, K. & Newstrom, J.W. 1989. Human Behaviour at Work. (8th edition). New York: Mc Graw Hill Book Company.
Duning, D. 2000. Leadership in the Millenium, (Online), (htpp://www.unm.edu/hrinfo/leadershipmillenium.html, diakses 24 September 2001)
Goleman, D. 1995. Emotion and Emotional Intelligence, (Online), (htpp://trochim.human.cornell.edu/gallery/young/emotion.html, diakses 24 September 2001)
Goleman, D. 1998. What makes a Leader?, Harvard Business Review, (Online), (htpp://www.facstaff.bucknell,edu/pagana/mg330/goleman.html, diakses 24 September 2001)
Goleman, D. 2000a. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Terjemahan: Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, D. 2000b. Leadership Styles That Get Result, Harvard Business Review March-April 2000, (Online), (htpp://www.humanlinks,com/manres/hbr3.htm, diakses 24 September 2001)
Gordon, J.R. 1991. Organizational Behaviour: A Diagnostic Approch (3rd edition). Boston: Allyn Bacon.
Hogan, R., Curphy, G.J, & Hogan, J. 1994. What We Know About Leadership Effectiveness and Personality, Journal of American Psychological Association June 1994 vol.49. no.6, p.493-504, (Online), (htpp://prodevweb.prodev.usna.edu/LEL/n1311/Leadership%20and%20Personality.txt, diakses 29 September 2001)
Kane, P.R. 1998. Leadership Poised at the Millenium, Independent School Magazine,(Online), (htpp://www.klingenstein.org/additional Resources/articles/Leadership poised at the millenium.htm, diakses 29 September 2001)
Kierstead, J. 1999. Human Resources Management TREDS and Issues: Emotional Intelligence In the Workplace, (Online), (htpp://www.psc-cfp.gc.ca/reserch/personnel/ei_e.htm, diakses 23 September 2001)
Klemm, W.R. 1999. Leadership: Creativity and Innovation, (Online), (htpp://www.au.af.mil/au/cpd/cpdgate/au24-401.htm, diakses 28 September 2001)
Mayer, J.D. 1999. Emotional Intelligence: Popular or Scientific Psychology, (Online), (htpp://www.apa.org/monitor/sep99/sp.html, diakses 22 September 2001).
Rinehart, S.H., & Smith,K.L. 1995. Leadership and Managerial Skill of County Commissioners, (Online), (htpp://www.joe.org./joe/1995February/rb3.html., diakses 21 September 2001)
Robbinson, C. 2000. Leading Effectively: Leadership Can be Taught, But Commitment Needed, (Online), (htpp://seattle.bcentral,com/seattle/stories/2000/08/smallb5.html, diakses 30 September 2001)
Simmons, K. 2001. Emotional Intelligence: What Smart Manager Know Success in the Workplace takes to strengthen this essential professional skill, (Online), (htpp://www.gwsae.org/ExecutiveUpdate/2001/April/emotional.htm, diakses 24 September 2001)
Steers, R.M., Ungson, G.R. & Mowday. 1985. Managing Effective Organizations: An Introduction. Boston: Kent Publishing Company.
Suchy, S. 2000. Developing Leader for the 21st Century: Engaging the Heart of Others, (Online), (htpp://www.museums.ca/fr/congres/sherenesuchy.htm, diakses 24 September 2001)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar