Senin, 10 Januari 2011

kepemimpinan

KEPEMIMPINAN (leadership)

diartikan sebagai kemampuan untuk memegaruhi suatu kelompok guna mencapai visi atau serangkaian tujuan yang sudah ditetapkan.

Kepemimpinan adalah kebutuhan dasar umat manusia,tetapi tidak sembarang pemimpin dapat melakukannya. Tidak mudah mencari sosok pemimpin ideal.

Selama ribuan tahun, tak terhitung banyaknya penobatan, kudeta, pelantikan, pemilu dan perubahan rezim. Raja, perdana menteri, pangeran, presiden, sekretaris jendral dan diktator datang silih berganti.

Sejarah membuktikan seorang penguasa biasanya akan mendapat respek dan dukungan rakyat jika ia memberi kadar kedamaian yang masuk akal dan kondisi hidup yang terjamin. Jika rakyat hilang percaya, orang lain mungkin akan segera mengantikan. Kondisi hidup yang buruk, kediktatoran dan keinginan akan perubahan biasanya menjadi pemicu pergantian.

Penulis mencoba mengurai ciri-ciri pemimpin yang ideal untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih pemimpin efektif.

Karismatik

Bila kita menengok sejarah para pemimpin yang kuat seperti Napoleon, Mao Tze Tung, Churchil, Margaret Thatcher, Ronald Reagen, Bung Karno, Gandhi, semuanya merupakan orang-orang yang sering kali disebut sebagai pemimpin karismatik .

Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan karismatik, ilmuwan dan sosiolog Max Weber punya definisi sendiri. Lebih dari seabad lalu ia mengatakan karismatik sebagai sifat dari seseorang yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural. Artinya tidak dimiliki oleh orang biasa, karena merupakan kekuatan yang bersumber dari Ilahi.

Telaah literatur menunjukan adanya empat karakteristik sehubungan dengan pemimpin karismatik. Yaitu memiliki visi, bersedia mengambil risiko pribadi untuk mencapai visi tersebut, sensitif terhadap kebutuhan bawahan dan memiliki prilaku yang luar biasa.

Indonesia pernah memiliki Bung karno yang masuk dalam kategori pemimpin karismatik. Memiliki visi memerdekakan Indonesia walau dengan risiko harus keluar masuk bui. Dia juga berani mengambil sikap demi mencapai visi.

Penulis berpendapat kepemimpinan karismatik merupakan salah satu dari jenis kategori ideal. Tetapi untuk mencari sosok pemimpin yang benar-benar ideal, karismatik saja belumlah cukup. Perlu kecerdasan emosional yang membuat kepemimpinan seseorang menjadi lebih efektif.

Karakteristik Kepemimpinan yang Efektif

Ada beberapa karakteristik dari kepemimpinan yang efektif yang dikemukan oleh berbagai tokoh antara lain:

1. Gordon (1991) kepemimpinan yang efektif meliputi:

(1) pemimpin harus mengenal dan mengetahui kebutuhan bawahan,
(2) pemimpin harus meningkatkan pemberian hadiah kepada bawahannya yang berprestasi,
(3) pemimpin harus dapat memfasilitasi jalan untuk mendapatkan hadiah dengan memberi pengarahan dan bimbingan,
(4) pemimpin seharusnya membantu bawahan mengklarifikasi harapannya dengan memberi contoh usaha yang mengarah pada kinerja yang tinggi,
(5) pemimpin harus mengurangi hambatan-hambatan yang membuat frustrasi bawahan dalam memperoleh hadiah dan hasil, dan
(6) pemimpin harus meningkatkan kesempatan untuk kepuasan pribadi yang merupakan hasil dari kinerja yang efektif.

2. Bennis yang dikutip Bliss (1999) mengemukakan bahwa pemimpin adalah orang yang memiliki karakteristik:

(1) inovatif,
(2) fokus pada orang,
(3) membangun kepercayaan,
(4) memiliki perspektif jangka panjang,
(5) menanyakan apa dan mengapa,
(6) memiliki pandangan yang luas dan melebar,
(7) memiliki orisinalitas,
(8) suka tantangan.

3. Hogan dkk (1994) dan Robinson (2000) mengemukakan 5 karakteristik khusus dari kepemimpinan yang efektif, yaitu:

(1)kecerdasan mental (mental agility), pemimpin memiliki minat yang besar, rasa ingin tahu dalam segala hal, memiliki rasa ingin tahu tentang orang lain dan motivasi yang mendasarinya, terbuka pada pengalaman baru, suka membaca dan suka akan tantangan.

(2) stabilitas emosi, pemimpin yang memiliki nilai yang tinggi pada stabilitas emosi cenderung memiliki sifat: percaya diri, penerimaan diri (self acepting), keseimbangan (balanced), tahan terhadap stress, toleran terhadap ketidakpastian, dapat bekerja dibawah tekanan, fleksibel dan efektif dalam menangani konflik dan umpan balik negatif,

(3) (surgency), yaitu pemimpin selalu bersifat terbuka, asertif, dan memiliki energi yang tinggi, berani mengambil keputusan,

(4) (conscientiousness), yaitu pemimpin memiliki sifat hati-hati dan sabar, motivasi yang tinggi untuk berprestasi, tanggungjawab, integritas yang tinggi, memiliki etos kerja, memiliki kemampuan mengorganisasi, dan

(5) (agreeableness) yaitu pemimpin dapat kooperatif, dapat berdiplomasi, bersahabat, pembicara yang efektif, dan dapat dipercaya.

4. Bliss (1999) semua pemimpin memiliki karakteristik sifat-sifat yang umum yaitu:

(1) mengarah pada visi dan tujuan,
(2) memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan kemauannya kepada orang lain,
(3) memiliki integritas meliputi: pengetahuan diri (self knowledge) yaitu tahu akan kelemahan dan kelebihan dirinya sendiri, terus terang (candor), dan kematangan (maturity) yang merupakan hasil belajar yang telah dijalani.

5. Steers (1985) menyoroti rintangan-rintangan dalam keefektifan kepemimpinan, yaitu:
(1) ketrampilan dan sifat dari pemimpin dapat menjadi kendala dalam menjadi pemimpin yang efektif. Misal, penelitian tentang kepemimpinan menunjukkan bahwa pemimpin yang efektif memiliki karakteristik pribadi tertentu. Kekurangan dari ketrampilan tersebut dapat menghalangi perilaku pemimpin yang efektif,

(2) ketidakmampuan pemimpin dalam membuat berbagai gaya kepemimpinan dalam situasi yang tepat,

(3) pada tingkat tertentu, pemimpin harus mengontrol sistim pemberian hadiah seperti menaikkan gaji, promosi dan lain-lain,

(4) karakteristik dari situasi kerja juga dapat menyebabkan ketidakefektifan kepemimpinan.

6.Klemm (1999) menyoroti ciri-ciri pemimpin kreatif yang berkorelasi positif dengan kepemimpinan yang efektif. Menurut Klemm ada 5 ciri-ciri pemimpin yang kreatif meliputi:

(1) memiliki tingkat kecerdasan yang cukup tinggi,
(2) dapat menerima informasi dengan baik (well informed),
(3) memiliki pemikiran yang asli (original thinkers),
(4) menjawab pertanyaan dengan benar (ask the right questions), dan
(5) disiapkan untuk menjadi kreatif (prepared to be creative).

7. Dunning (2000) mengemukakan 4 kompetensi yang menentukan keberhasilan pemimpin yang baru di era milenium, yaitu:

(1) harus memahami dan mempraktekkan pentingnya suatu penghargaan terhadap kemampuan, sehingga pemimpin dituntut memiliki kemampuan,
(2) senantiasa mengingatkan bahwa pentingnya mengembangkan bawahannya,
(3) senantiasa memberikan kepercayaan kepada bawahannya, dan
(4)menjalin keakraban dengan rekan sekerja.

9. Kane (1998) menyoroti aspek-aspek yang paling relevan untuk dimiliki pemimpin pada era melinium yaitu:
(1) kompetensi dasar (core competencies) seperti: inteligensi, integritas (integrity) dan perhatian (caring),
(2) ketrampilan/pengetahuan (skills/knowledge), membangun tim (team building), mengorganisir bawahan (people management), keterlibatan pada aktivitas di masyarakat (community involvement), dapat mengelola konflik secara produktif (productive use of conflict) dan kecerdasan emosi (emotional intelligence),
(3) sikap terhadap keberhasian kepemimpinan (attitudes for successful leadership), yaitu: memiliki komitmen (comitment), perbaikan yang terus menerus (continuous improvement)

Kecerdasan Emosi

Selain sifat-sifat kepemimpinan yang ideal, perlu disertai kecerdasan emosional (emotional intelligence). Walaupun pemimpin memiliki pendidikan luar biasa, kemampuan analisis tajam, visi yang hebat dan ide-ide cemerlang, tetap saja tidak bisa menjadi pemimpin yang besar dan efektif jika tidak memiliki kecerdasan emosi.
Kecerdasan Emosi
Istilah kecerdasan emosi pertama kali berasal dari konsep kecerdasan sosial yang dikemukakan oleh Thorndike pada tahun 1920 dengan membagi dalam 3 bidang kecerdasan yaitu:

(1) kecerdasan abstrak, seperti: kemampuan memahami dan memanipulasi simbol verbal dan matematika,
(2) kecerdasan kongkrit kemampuan memahami dan memanipulasi objek, dan
(3) kecerdasan sosial, yaitu kemampuan berhubungan dengan orang lain (Goleman, 1995). Kecerdasan sosial menurut Thorndike yang dikutip Goleman (1995) adalah kemampuan untuk memahami dan mengatur orang untuk bertindak bijaksana dalam menjalin hubungan,

meliputi: kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan untuk mengelola diri sendiri, sedangkan kecerdasan interpersonal adalah kemampuan memahami orang lain.
Kemudian konsep kecerdasan emosi berkembang menjadi istilah emosi yang dikemukakan oleh Mayer dan Salovey pada tahun 1993 (Davies,1998; Kierstead, 1999; Caruso, 2000; Simmons, 2001 dan Goleman, 2000) dengan memberikan definisi emosi yang merupakan kompilasi dari 4 macam ketrampilan, yaitu:

1) mengidentifikasi emosi (identifying emotions), yaitu kemampuan mengenali dan merasakan perasaannya,
2) menggunakan emosi untuk memfasilitasi pikiran (using emotion to facilitate thought), yaitu kemampuan mengekspresikan emosi dan kemudian memberi alasan dengan emosinya,
3) memahami emosi (understanding emotions), yaitu kemampuan emosi secara kompleks dan rangkaian emosi serta bagaimana emosi berpindah dari satu tahap ke tahap lainnya, dan
4) mengelola emosi (managing emotions), yaitu kemampuan untuk mengelola emosi diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain.

Dewasa ini, pengertian kecerdasan emosi berkembang tidak hanya sekedar 4 ketrampilan, tetapi lebih luas. Menurut Goleman yang dikutip Bliss (1999), kecerdasan emosi didefinisikan suatu kesadaran diri, rasa percaya diri, penguasaan diri, komitmen dan integritas dari seseorang, dan kemampuan seseorang dalam mengkomunikasikan, mempengaruhi, melakukan inisiatif perubahan dan menerimanya. Atau dengan kata lain Goleman (2000) memberi pengertian kecerdasan emosi merujuk kepada kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi secara baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.

Dalam buku yang terbaru bekerja dengan kecerdasan emosi dalam konteks dunia kerja, Goleman yang dikutip oleh Blisss, (1999); Simon (2001) membagi 2 wilayah dari kerangka kecerdasan emosi, yaitu:

(1) kompetensi pribadi (personal competency), yaitu bagaimana mengatur diri sendiri yang terdiri dari:
a) kesadaran diri (self awareness), yaitu kemampuan untuk mengenal perasaan dirinya sendiri,
b) kemampuan mengatur diri sendiri (self regulation/ self management) yaitu kemampuan mengatur perasaannya dan
c) motivasi (motivating) yaitu kecenderungan yang memfasilitasi dirinya sendiri untuk mencapai tujuan walaupun mengalami kegagalan dan kesulitan.

(2) kompetensi sosial ( social competence), yaitu kemampuan mengatur hubungan dengan orang lain, yang terdiri dari

(a) empati, yaitu kesadaran untuk memberikan perasaan/perhatian, kebutuhan dan kepedulian kepada orang lain, dan
(b) memelihara hubungan sosial, yaitu mengatur emosi dengan orang lain, ketrampilan sosial seperti: kepemimpinan, kerja tim, kerjasama dan negosiasi.




Alat Ukur Kecerdasan Emosi

Hingga saat ini banyak alat ukur yang mengungkap kecerdasan emosi. Pada kajian ini penulis hanya menguraikan alat ukur yang pernah dikembangkan oleh beberapa peneliti, yaitu:

(1) MSCEIT (Mayer, Salovey, Caruso emotional intelligence test) yang dikembangkan oleh Dr. Jack Mayer, Dr. Peter Salovey dan Dr. David Caruso yang terdiri dari 4 ketrampilan yaitu: mengidentifikasi emosi, menggunakan emosi, memahami emosi dan mengelola emosi. Tes ini lebih mengarah kepada mengukur kemampuan kecerdasan emosi (ability measure).

(2) Baron EQ-I (Baron Emotional Quotient-Intelligence). Tes ini diciptakan oleh Baron. Aspek-aspek yang diukur antara lain: a) ketrampilan intrapersonal seperti: kesadaran diri, asertif, aktualisasi diri dan kemandirian, b) ketrampilan interpersonal seperti: empati, hubungan interpersonal, dan tanggungjawab sosial, c)mengelola stress seperti: pemecahan masalah, tes realitas dan fleksibilitas, dan d) kemampuan beradaptasi (adaptability) seperti: toleransi terhadap stress, mengontrol impuls.Tes ini mengarah pada bentuk self report.

(3) EQ Map (Emotional Quotient Map). Tes ini dikembangkan oleh Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf (2001) yang melakukan penelitian pada manajer eksekutif dan profesional dari ratusan organisasi perusahaan. Aspek-aspek yang diukur antara lain:
a) ketrampilan kecerdasan emosi seperti: kesadaran diri emosi, kesadaran emosi terhadap orang lain dan ekspresi emosi,
b) kecakapan emosi seperti: intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan antar pribadi dan ketidakpuasan konstruktif,
c)nilai-nilai dan keyakinan seperti: belas kasihan, sudut pandang, intuisi, radius kepercayaan, daya pribadi dan integritas.

(4) ECI (Emotional Competence Inventory). Tes ini mengukur aspek-aspek antara lain:

a) kesadaran diri (self awareness) seperti: kesadaran emosi diri, ketepatan mengases diri (accurate self assesment) dan kepercayaan diri (self confidence)
b) kesadaran sosial (social awareness) seperti empati, kesadaran organisasi dan berorentasi pada pelayanan,
c) manajemen diri (self management), seperti: penguasaan diri (self control), sifat dapat dipercaya (trustworthiness), kehati-hatian (consentiousness), kemampuan beradaptasi (adaptability), orientasi berprestasi (achievement orientation), inisiatif (initiative),
d) ketrampilan sosial seperti: mengembangkan prang lain (developing others), kepemimpinan, mempengaruhi, komunikasi, manajemen konflik (conflict management), katalis perubahan (change catalist), kerjasama tim (teamwork) dan menjalin hubungan dengan orang lain.

Pentingnya Kecerdasan Emosi bagi Pemimpin yang Efektif

Kecerdasan emosi dewasa ini sangat dibutuhkan dalam semua bidang kerja. Yate (1997) yang dikutip Caruso (2000) membuat penelitian yang sangat menarik dengan mengungkap peranan kecerdasan emosi dalam karir dan tempat kerja dengan mengacu seberapa besar kecerdasan emosi sebagai syarat yang dibutuhkan untuk keberhasilan kerja. Berikut daftar pekerjaan yang membutuhkan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi (dari tertinggi hingga ke terendah):

dokter jiwa, pekerja sosial, spesialis merawat orang manula, dokter medis keluarga, ahli terapi fisik, guru/kepala sekolah, manajer sumber daya manusia, manajer pelatihan, polisi, dokter gigi,wartawan, pemasar, editor, agen asuransi, ahli kacamata, sekretaris, agen perjalanan, asisten medis, pelayan, insinyur piranti lunak, ahli geofisik,

Dari berbagai penelitian juga dibuktikan bahwa kecerdasan emosi sangat dibutuhkan bagi pemimpin yang efektif. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Patricia Pitcher’s yang dikutip oleh Bliss (1999) menyimpulkan bahwa pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi tinggi lebih berhasil dibandingkan dengan pemimpin yang tanpa kecerdasan emosi. Bennis yang dikutip Simmons (2001) juga mendukung peneliti sebelumnya dengan mengatakan bahwa kecerdasan emosi lebih berpengaruh dibandingkan dengan inteligensi (IQ) dalam menentukan pemimpin yang efektif. Penelitian yang dilakukan Cooper (1997) menyebutkan bahwa orang dengan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi lebih berhasil dalam karir pekerjaan, dapat membangun hubungan personal yang lebih baik, memimpin lebih efektif, dapat menikmati kesehatan lebih baik dan dapat memotivasi dirinya sendiri dan orang lain. Lebih lanjut Cooper menjelaskan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dapat meningkatkan kekuatan intuisi, senantiasa mempercayai dan dipercayai oleh orang lain, memiliki integritas, dapat memecahkan solusi dalam keadaan yang darurat dan dapat melakukan kepemimpinan yang efektif.

Seorang pemimpin yang efektif menggunakan pengaruh hubungan personil dalam mempengaruhi orang lain. Hubungan personil dibangun menggunakan ketrampilan kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi tidak hanya membedakan pemimpin yang menonjol dengan yang tidak, tetapi juga berkaitan dengan kinerja yang baik (Goleman, 1998).

Penelitian lain yang sejenis dilakukan Fieldman yang dikutip Simmon (2001), menyimpulkan bahwa pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi yang baik secara langsung dapat mempengaruhi kinerja bawahannya dan produktivitas dalam segala hal. Cooper dan Sawaf (1998 dan 2001) yang menyoroti perbedaan kecerdasan emosi dari pemimpin dapat membuat faktor keberhasilan karir dan organisasi dalam hal:

1) pengambilan keputusan,
(2) kepemimpinan,
(3) komunikasi secara jujur dan terbuka,
(4) hubungan yang saling mempercayai dan kerjasama tim, dan
(5) kepuasan pelanggan.

Penelitian lain yang berkaitan dengan kecerdasan emosi juga dilakukan oleh beberapa ahli. Seperti yang dilakukan oleh Simmon (2001) dengan mengaitkan antara jenis kelamin (gender) dengan kecerdasan emosi didapatkan kesimpulkan bahwa orang wanita rata-rata lebih baik kecerdasan emosi dalam hal kesadaran dirinya, empati dan ketrampilan sosialnya, sementara orang pria rata rata lebih baik kecerdasan emosi dalam bidang kepercayaan diri, optimistik, dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan daya tahan terhadap stres.

Sementara itu Baron menyelidiki pengaruh kecerdasan emosi dengan tingkat usia, diperoleh hasil ada pengaruh yang konsisten antara usia dengan kecerdasan emosi, yaitu nilai total kecerdasan emosi meningkat dengan pertambahan usia dan puncaknya pada akhir tahun ke-40 dan awal tahun ke-50. Penelitian ini menunjukkan bahwa kematangan emosi berasal dari usia dan pengalaman, dimana orang yang lebih tua dapat mengatasi tuntutan lingkungan dari orang yang lebih muda.

Atau secara umum orang yang lebih tua memiliki beberapa kelebihan dibandingkan orang yang lebih muda yaitu:

(1) mandiri dalam cara berfikir dan bertindak,
(2) sadar akan perasaan orang lain,
(3) memiliki tanggung jawab sosial,
(4) dapat beradaptasi,
(5) dapat mengatasi masalah, dan
(6) dapat mengatur tingkat stres.



Tetapi mengapa Emotional Intelligence begitu penting bagi kemimpinan yang efektif? Ini jawabnya, salah satu komponen inti Emotional Intelligence adalah empati.
Sejarawan Fred Greenstein mengadakan penelitian dan menunjukan Emotional Intelligence merupakan salah satu unsur terpenting untuk meramalkan kebesaran seorang pemimpin.

Jelas argumen dari sejarawan ini bisa dikatakan benar, karena jika seorang pemimpin tidak memilki sifat empati dan mendengar apa yang dikatakan oleh bawahan ataupun masyarakat yang dipimpinnya, maka akan menjadikan dia pemimpin yang cendrung diktator.

Di Amerika Serikat, cendrung memilih pemimpin (presiden) yang memiliki Emotional Intelligence tinggi dibanding pemimpin yang cerdas dalam berpolitik.
Hal ini nampak ketika George W Bush memenangkan Pemilu 2004, mengalahkan lawannya Jhon Kerry. Seorang komentator politik menjelaskan sikap mayoritas suara rakyat USA, “Rakyat menangkap bahwa Kerry memiliki Emotional Intelligence lebih rendah dari pada Bush. Walaupun Kerry memiliki kecerdasan politik yang lebih tinggi, tetapi Bush memiliki kecerdasan bangsa yang jauh lebih baik. Tercermin dari sikap Bush saat melakukan kampanye yang lebih memberi kesan secara emosional, berbicara dengan jelas, sederhana, penuh semangat dan Dia menang.“

Musuh utama

Masalahnya sekarang, musuh utama dari kepemimpinan yang efektif adalah kekuasaan yang dapat merubah visi utama dari seorang pemimpin.
Kekuasaan selama ini dianggap sebagai kata yang paling kotor. Mereka yang mencoba dan belum mendapatkan kekuasaan akan terus mengejar. Mereka yang pandai mendapatkan akan merahasiakan cara untuk memenangkannya. Kita mungkin sudah mendengar ungkapan power corroupts,absolute power corroupts absolutely (kekuasaan itu korup dan kekuasaan penuh akan sepenuhnya korup).
Para pemimpin akan menggunakan kekuasaan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan kelompok, dan kekuasaan adalah sarana untuk memudahkan usaha mereka.
Kekuasaan terfokus bukan hanya pengaruh kepada pengikut atau bawahan, tapi melebarkan pengaruh ke samping atau dengan kata lain ingin menguasai secara menyeluruh. Padahal pemimpin memiliki keterbatasan sebagai pribadi-pribadi yang tidak sempurna.


Pemimpin ideal

Pemimpin yang ideal harus memenuhi aspek-aspek kepribadian yang unggul. Berikut ini adalah ciri dari kepribadian seorang pemimpin yang ideal.

Pertama: Memiliki integritas, berprilaku jujur dan lurus sehingga dapat menantang musuh-musuhnya dihadapan umum. Tidak munafik, sehingga masyarakat akan tergerak untuk menjadi pendukungnya (karismatik).

Kedua: Peduli terhadap masyarakat, memberi dukungan moril, materil, penghiburan bagi orang-orang yang tertekan, mendengarkan dan empati (emotional Intellgence).

Ketiga: Mau bekerja, menyelesaikan semua tugas-tugas sebagai seorang pemimpin, tanggap ketika rakyatnya membutuhkan pertolongan, mau melayani masyarakat bukan hanya dilayani turun kebawah).

Penulis melihat ciri-ciri dari sosok pemimpin yang ideal di atas, masih jauh dari kenyataan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila banyak masyarakat hilang harapan untuk mendapatkan pemimpin ideal. Tapi bukan berarti sosok pemimpin yang ideal itu tidak ada.

Melihat kondisi sekarang, penulis berharap masyarakat bisa berpikir luas, lebih cerdas, lebih objektif, tidak terpengaruh bujuk manis atau politik uang dalam menentukan pilihan kepada calon –calon pemimpin di daerahnya.
Semoga saja, dalam pesta demokrasi pemilihan umum kepala daerah yang sebentar lagi akan berlangsung, sosok pemimpin ideal jadi pertimbangan utama. Jangan buta karena pengaruh sesaat.

Pemimpin memiliki manajemen diri dan manajemen waktu yang baik san efektif .

Tanggung jawab kepemimpinan bukanlah sesuatu hal yang dapat dijalankan dengan mudah. Tetapi, semakin besar tanggung jawab kepemimpinan itu, semakin besar pula penghargaan yang diberikan jika dapat memenuhi peranan tersebut.

Jika suatu bangsa dapat memilih para pemimpinnya dengan baik, maka bangsa tersebut akan berkembang dan menjadi negara yang besar. Tetapi, jika salah memilih pemimpin, bangsa tersebut akan menuju kehancuran. Keberhasilan dan jatuhnya suatu negara berada di tangan para pemimpinnya.

Ini sama halnya seperti dalam dunia bisnis. Tidak peduli betapa hebatnya kemampuan para pekerja di suatu perusahaan, jika kepemimpinannya kurang, maka perusahaan tersebut akan segera mengalami kebangkrutan. Tetapi, jika sang pemilik atau para direksi menyediakan suatu kepemimpinan yang handal, maka perusahaan tersebut akan berkembang dan berhasil.

Orang biasa cenderung untuk meniru para pemimpinnya. Mereka mulai meniru para pemimpinnya bukan hanya dalam hal penggunaan kata-kata dan kelakuan, tetapi mereka juga meniru cara berpikir para pemimpin mereka. Coba kita lihat komunitas milist (mailing list). Jika pemimpin milist ini handal, maka seluruh komunitas milist ini akan meningkat hari demi hari. Sebaliknya, jika komunitas milist ini kurang dalam hal kepemimpian maka komunitas milist ini akan mengalami banyak penurunan.
Ada empat kualitas yang dapat membantu kita untuk mengembangkan kepemimpinan kita :

Yang pertama, untuk menjadi seorang pemimpin yang handal, kita harus dengan cepat memahami kebutuhan orang-orang dan memenuhinya. Sebagai contoh, seorang pedagang harus dengan cepat memahami kebutuhan para produsen, konsumen dan situasi terkini dalam pendistribusian order agar dapat meraih sukses dalam bisnisnya.

Ketika kita melakukan suatu bisnis di pasar dunia, perluasan kapasitas produksi tidak akan menjamin kesuksesan dalam bisnis kita. Ketika melakukan produksi, kita harus memahami dan menganalisa status produksi dari barang-barang di seluruh dunia dan berdasarkan itu kita harus mencocokkannya dengan pabrik kita. Hanya analisa yang teliti dan pemahaman yang sepenuhnya yang dapat membawa kesuksesan.

Sama seperti hal di atas, mereka yang kurang memiliki kemampuan dalam memahami dan menganalisa kebutuhan orang lain tidak dapat menjadi seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus terus menerus tanggap dan harus bisa menganalisa. Apa yang dibutuhkan pasar? Apa yang sedang mereka pikirkan? Dalam hal apa mereka membutuhkan pembaharuan? Pertanyaan-pertanyaan ini harus selalu ada di dalam pikiran para pemimpin.

Yang kedua, untuk menjadi seorang pemimpin yang handal, kita harus memiliki kemampuan untuk membuat orang lain sukses. Di antara berbagai macam tipe pemimpin, ada tipe pemimpin otoriter. Para pemimpin otoriter tidak mempedulikan ide-ide atau pendapat dari orang yang berada di bawahnya. Para pemimpin tipe ini menyuruh orang-orang agar mematuhi perintah-perintahnya. Mereka ini akan memanfaatkan bawahan mereka, lalu mengabaikannya.

Tipe lainnya yaitu tipe pemimpin mekanis. Mereka ini sangat terikat dengan aturan-aturan yang mereka ikuti. Tipe pemimpin seperti ini telah kehilangan rasa kemanusiaannya dan menjadi mesin virtual. Pemimpin seperti ini tidak dapat membantu orang lain agar menjadi sukses.

Ada beberapa pemimpin yang dengan senang hati membantu orang lain agar menjadi sukses. Menolong orang lain bukan berarti mengambil orang-orang dari jalanan dan mentoleransi kemampuan mereka yang kurang. Seorang pemimpin yang mampu membantu orang lain agar menjadi sukses mula-mula harus mampu mengevaluasi orang lain, kemudian mengarahkan mereka kepada tanggung jawab yang sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan demikian, mereka dapat bekerja dengan senang dan mendapatkan kesempatan untuk dipromosikan.

Memastikan bahwa orang yang tepat telah ditempatkan di tempat yang tepat merupakan tanggung jawab seorang pemimpin. Untuk melakukan hal ini, seorang pemimpin harus mempunyai minat dan fokus yang tetap terhadap orang-orang yang mereka pimpin. Dengan melihat talenta yang berbeda-beda di dalam diri tiap-tiap orang, seorang pemimpin harus mampu mendorong mereka untuk mengembangkan talentanya. Apabila sang pemimpin menemukan bahwa seseorang sedang berusaha dan sedang berjuang dengan pekerjaan yang sebenarnya tidak cocok untuknya, maka pemimpin tersebut harus mencarikannya pekerjaan baru. Sedangkan terhadap orang-orang yang kurang mempunyai kemampuan, sang pemimpin harus mendorong dan mengajari mereka sehingga mereka menjadi mampu untuk melakukan pekerjaannya. Kita semua harus mempraktekkan kepemimpinan yang seperti ini.

Yang ketiga, untuk menjadi seorang pemimpin yang handal, kita harus selalu memiliki semangat untuk mempelopori dan harus selalu bergerak maju. Kebanyakan orang hanya diam di tempat, mereka hanya berusaha agar keadaan tetap seperti itu. Ini dikarenakan mereka lebih memilih untuk amannya saja daripada hidup dalam ketidakpastian.

Apabila seorang pemimpin hanya mencari rasa aman saja sewaktu ia memimpin suatu kelompok, maka ia telah kehilangan tujuannya sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang handal harus mempunyai sifat petualang dan agresif. Ide-ide baru harus dipikirkan dan diterapkan meskipun ide-ide tersebut mungkin mengakibatkan ketidakpastian dan membawa bahaya. Pertumbungan dan perkembangan selalu diikuti oleh sejumlah bahaya.

Seorang pemimpin harus terus mengembangkan dan memperluas dirinya agar dapat menjadi pemimpin yang lain daripada yang lain. Saya telah mendapatkan banyak kesempatan untuk bertemu dengan para pemimpin yang terkenal di dunia dan berbicara dengan mereka. Saya telah menemukan bahwa mereka semua mempunyai satu persamaan yaitu: mereka semua terlihat sedikit fanatik di dalam beberapa hal tertentu. Mereka kadang-kadang mengatakan hal-hal yang sulit dimengerti dengan sudut pandang biasa. Mereka semakin menjauh dari realita dan menemukan hal-hal yang baru untuk dikerjakan. Oleh karena itu, orang-orang yang benar-benar berpegang pada realita akan mengalami kesulitan untuk memahami mereka.

Untuk menjadi seorang pemimpin yang handal, pikiran kita harus lebih maju daripada orang lain, dan kita harus menjadi pemimpin yang selalu bekerja keras.Oleh karena itu, kita harus memiliki gol yang jauh ke depan dan berusaha keras untuk meraihnya dengan segala usaha. Maka kita dapat menjadi pemimpin-pemimpin yang handal.

Yang keempat, untuk menjadi seorang pemimpin yang handal, kita harus menginvestasikan semua usaha kita untuk pengembangan diri. Kita harus membayangkan seberapa banyak kita telah mengembangkan dan meningkatkan diri sejak tahun lalu sambil bertanya, "Apa yang bisa saya lakukan untuk menjadi seorang pemimpin yang lebih baik lagi? Bagaimana caranya agar saya dapat menjalankan tugas saya sebagai pemimpin dengan lebih efektif?". Selain itu, kita harus melakukan yang terbaik untuk pengembangan diri kita.

Saya menghabiskan banyak energi untuk melakukan pengembangan dan peningkatan diri. Saya selalu berpikir tentang bagaimana meningkatkan diri saya sendiri dalam kehidupan sehari-hari.

Lihatlah para CEO atau para eksekutif perusahaan. Tentu saja mereka sangat sibuk dengan pekerjaan mereka. Tetapi jika kita melihat mereka lebih dekat, kita akan terkejut karena kita akan menemukan bahwa mereka banyak menghabiskan waktu mereka untuk mengembangkan dan meningkatkan diri. Ketika kita tidak bisa merefleksikan pada diri kita sendiri untuk menemukan kelemahan-kelemahan yang perlu dikuatkan, maka kita akan menemukan bahwa kita tidak akan mampu memimpin.

Apabila kita mengikuti panduan ini, maka kita pasti akan menjadi pemimpin-pemimpin yang handal dan kita akan mampu memimpin orang-orang yang berada di bawah kita secara efektif dan bijaksana agar mereka dapat mencapai kesuksesan.
Simpulan
Pemimpin yang efektif sangat diperlukan di era globalisasi. Karakteristik pemimpin yang dapat merealisasikan visi menjadi kenyataan, memilik perspektif jangka panjang, dapat mengembangkan bawahan, inovatif, kreatif, memiliki kecerdasan emosi dan karakteristik lainnya merupakan sesuatu yang menentukan suksesnya pemimpin untuk bisa bersaing di era globalisasi.
Kecerdasan emosi merupakan aspek sangat dibutuhkan dalam semua bidang kerja dan dalam kehidupan bermasyarakat. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi lebih cenderung sukses dalam dunia kerja dan dalam hidup di masyarakat. Dengan demikian orang yang memiliki kompetensi pribadi (kesadaran diri dan kemampuan mengelola diri sendiri) dan kompetensi sosial (motivasi, empati dan ketrampilan sosial) yang merupakan aspek dari kecerdasan emosi cenderung lebih berhasil dalam segala bidang pekerjaan dan kehidupan.

Daftar Rujukan
Baron. Tanpa tahun, ( Online), (htpp://gwimi,imi.ie/eqhtml/articles_eqand_age.shtml. diakses 23 September 2001).
Bliss, S.E. 1999. The Affect of Emotional Intelligence on a Modern Organizational Leader’s Ability to Make Effective Decision, (Online), (htpp://eqi.org/mgtpaper.htm, diakses 23 September 2001)
Caruso, D.R. 2000. Applying the Ability of Emotional Intelligence to The World of Work, (Online), (htpp:// gwimi.imi.ie/eqhtml/articles_eq_and_gender.shtml, diakses 21 September 2001)
Cooper, R.K.1997. Leadership High ‘EQ’ among execs promotes trust in the workplace, (Online), (htpp://www.aednet.org/dec97/eq.htm, diakses 23 September 2001)
Cooper, R.K., & Sawaf, A. 1998. Emotional Intelligence in the Leadership Organizations, (Online), (htpp://www.feel.org/articles/cooper_sawaf.html, diakses 25 September 2001)
Cooper, R.K & Sawaf, A. 2001. Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Alih Bahasa: Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama
Davies, M. 1998. Emotional Intelligence-Old Wine in New Bottles ?,(Online), (htpp://www.humanassets.co.uk/EQ0999.htm, diakses 23 September 2001)
Davies, K. & Newstrom, J.W. 1989. Human Behaviour at Work. (8th edition). New York: Mc Graw Hill Book Company.
Duning, D. 2000. Leadership in the Millenium, (Online), (htpp://www.unm.edu/hrinfo/leadershipmillenium.html, diakses 24 September 2001)
Goleman, D. 1995. Emotion and Emotional Intelligence, (Online), (htpp://trochim.human.cornell.edu/gallery/young/emotion.html, diakses 24 September 2001)
Goleman, D. 1998. What makes a Leader?, Harvard Business Review, (Online), (htpp://www.facstaff.bucknell,edu/pagana/mg330/goleman.html, diakses 24 September 2001)
Goleman, D. 2000a. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Terjemahan: Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, D. 2000b. Leadership Styles That Get Result, Harvard Business Review March-April 2000, (Online), (htpp://www.humanlinks,com/manres/hbr3.htm, diakses 24 September 2001)
Gordon, J.R. 1991. Organizational Behaviour: A Diagnostic Approch (3rd edition). Boston: Allyn Bacon.
Hogan, R., Curphy, G.J, & Hogan, J. 1994. What We Know About Leadership Effectiveness and Personality, Journal of American Psychological Association June 1994 vol.49. no.6, p.493-504, (Online), (htpp://prodevweb.prodev.usna.edu/LEL/n1311/Leadership%20and%20Personality.txt, diakses 29 September 2001)
Kane, P.R. 1998. Leadership Poised at the Millenium, Independent School Magazine,(Online), (htpp://www.klingenstein.org/additional Resources/articles/Leadership poised at the millenium.htm, diakses 29 September 2001)
Kierstead, J. 1999. Human Resources Management TREDS and Issues: Emotional Intelligence In the Workplace, (Online), (htpp://www.psc-cfp.gc.ca/reserch/personnel/ei_e.htm, diakses 23 September 2001)
Klemm, W.R. 1999. Leadership: Creativity and Innovation, (Online), (htpp://www.au.af.mil/au/cpd/cpdgate/au24-401.htm, diakses 28 September 2001)
Mayer, J.D. 1999. Emotional Intelligence: Popular or Scientific Psychology, (Online), (htpp://www.apa.org/monitor/sep99/sp.html, diakses 22 September 2001).
Rinehart, S.H., & Smith,K.L. 1995. Leadership and Managerial Skill of County Commissioners, (Online), (htpp://www.joe.org./joe/1995February/rb3.html., diakses 21 September 2001)
Robbinson, C. 2000. Leading Effectively: Leadership Can be Taught, But Commitment Needed, (Online), (htpp://seattle.bcentral,com/seattle/stories/2000/08/smallb5.html, diakses 30 September 2001)
Simmons, K. 2001. Emotional Intelligence: What Smart Manager Know Success in the Workplace takes to strengthen this essential professional skill, (Online), (htpp://www.gwsae.org/ExecutiveUpdate/2001/April/emotional.htm, diakses 24 September 2001)
Steers, R.M., Ungson, G.R. & Mowday. 1985. Managing Effective Organizations: An Introduction. Boston: Kent Publishing Company.
Suchy, S. 2000. Developing Leader for the 21st Century: Engaging the Heart of Others, (Online), (htpp://www.museums.ca/fr/congres/sherenesuchy.htm, diakses 24 September 2001)

pentingnya softskill di dunia kerja

Pentingnya Soft Skill Bagi dunia Kerja

PARA pengguna tenaga kerja kerap mengeluhkan lulusan perguruan tinggi (PT) yang berkualitas setengah hati. Bagaimana tidak kecewa, kalau lulusan yang dicetak ternyata kurang tangguh, tidak jujur, cepat bosan, tidak bisa bekerja teamwork, sampai minim kemampuan berkomunikasi lisan dan menulis laporan dengan baik. Mengapa itu bisa terjadi?

Tahun 2001, pihak rektorat ITB pernah menggelar pertemuan dengan berbagai stakeholders penyedia kerja dan pengguna lulusan ITB. Pihak rektorat ITB saat itu menyampaikan imbauan agar perusahaan tidak memotong pelamar kerja semata-mata berdasarkan indeks prestasi (kriteria IP > 2,75). Pertemuan dengan sedikitnya 10 mitra industri itu kemudian membuahkan masukan balik terhadap ITB.

Salah satu respons datang dari perusahaan Schlumberger, yang menyatakan bahwa lulusan ITB kurang tekun meniti karier, sehingga rata-rata memiliki progress career yang kurang baik. Dari 75% intake 20-an tahun lalu, hanya 38% yang mencapai posisi manajer ke atas. Meski punya karakteristik positif, yaitu tingkat intelegensia relatif tinggi, namun boleh dibilang masih kurang dalam sisi kerja keras dan dedikasi.

Dalam dunia kerja, komentar tentang kualitas para sarjana semacam, “pintar sih, tapi kok tidak bisa bekerja sama dengan orang lain” atau “jago bikin perancangan, tapi sayangnya tidak bisa meyakinkan ide hebat itu pada orang lain”, atau “baru teken kontrak 1 tahun tapi sudah mundur, kurang tahan banting, nih,”, bukannya tidak jarang telontar. Tentunya hal itu bisa menjadi bahan evaluasi, bukan hanya bagi kampus tertentu, tetapi juga seluruh kampus di tanah air tanpa terkecuali.
Ada kecenderungan apa yang diberikan di bangku kuliah tidak sepenuhnya serasi dengan kebutuhan di lapangan kerja. Sebagian besar menu yang disajikan, boleh dibilang berupa keterampilan keras (hard skill). Padahal, bukti-bukti menunjukkan penentu kesuksesan justru kebanyakan adalah keahlian yang tergolong lunak (soft skill).

Simak saja survei dari National Association of College and Employee (NACE), USA (2002), kepada 457 pemimpin, tentang 20 kualitas penting seorang juara. Hasilnya berturut-turut adalah kemampuan komunikasi, kejujuran/integritas, kemampuan bekerja sama, kemampuan interpersonal, beretika, motivasi/inisiatif, kemampuan beradaptasi, daya analitik, kemampuan komputer, kemampuan berorganisasi, berorientasi pada detail, kepemimpinan, kepercayaan diri, ramah, sopan, bijaksana, indeks prestasi (IP >= 3,00), kreatif, humoris, dan kemampuan berwirausaha.

IP yang kerap dinilai sebagai bukti kehebatan mahasiswa, dalam indikator orang sukses tersebut ternyata menempati posisi hampir buncit, yaitu nomor 17. Nomor-nomor yang menempati peringkat atas, malah kerap disangka syarat basa-basi dalam iklan lowongan kerja. Padahal, kualitas seperti itu benar-benar serius dibutuhkan.

Pengembangan di kampus

Menurut Patrick S. O’Brien dalam bukunya Making College Count, soft skill dapat dikategorikan ke dalam 7 area yang disebut Winning Characteristics, yaitu, communication skills, organizational skills, leadership, logic, effort, group skills, dan ethics. Kemampuan nonteknis yang tidak terlihat wujudnya (intangible) namun sangat diperlukan itu, disebut soft skill.
Ketidakseimbangan pendidikan di ruang kuliah yang lebih bertumpu pada hard skill, tentu saja perlu segera diatasi, antara lain dengan memberikan bobot lebih kepada pengembangan soft skill. Implementasi soft skill tersebut dapat dilakukan baik melalui kurikulum maupun kegiatan ekstrakurikuler. Lalu bagaimana pengembangannya di kampus-kampus?

Di Universitas Indonesia, salah satunya di magister manajemen pemasaran, terdapat mata kuliah soft Skills wajib (nonkredit) yang diberikan dalam bentuk workshop, yaitu Presentation and Writing Skills dan Book Review. Di Universitas Bina Nusantara, baru-baru ini juga mulai memasukkan mata kuliah bernama character building untuk semester I-IV.

Kampus yang juga tengah memfokuskan pengembangan soft skill melalui kurikulum adalah Universitas Widyatama. Ada 20 kualitas penting seorang juara berdasarkan survei NACE, dipakai sebagai acuan atribut soft skill. Tiap program studi per fakultas bisa memilih 5-6 atribut yang paling dirasa penting dan sesuai kebutuhan, untuk embedded pada beberapa mata kuliah inti.

Penerapan atribut soft skill di ruang kelas, misalnya, lebih banyak lagi tugas presentasi, diskusi kelompok, sampai role play. Dengan tujuan, semakin mengasah kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama. Hal ini penting sebagai aplikasi pendidikan yang bukan sekadar bagaimana dosen mengajar dengan baik (teacher centre learning), tapi bagaimana mahasiswa bisa belajar dengan baik (student centre learning). “Pusatnya memang tidak lagi pada dosen, tapi mahasiswa diperankan lebih jauh. Di STT Telkom, pengembangan soft skill juga diarahkan pada kegiatan nonakademik. Untuk mendorong mahasiswa aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, mulai semester tahun 2007/2008 mendatang akan diberlakukan penilaian berbentuk Transkrip Aktivitas Kemahasiswaan (TAK). TAK ini merupakan syarat ikut wisuda dan akan diberikan mendampingi transkrip akademik saat mahasiswa lulus.

“Sampai seorang mahasiswa lulus, dia harus mengumpulkan skor tertentu dengan aktif berkegiatan, misalnya, aktif di himpunan, menulis artikel di media massa, peserta lomba, dsb. Sebenarnya fokusnya bukan angka, tapi dengan dia aktif ada sisi soft skill yang terasah. Selama ini pengembangan nonakademik sudah ada, namun karena bukan sistem, jadi berjalan alakadarnya,” kata Wiyono, Director Student and Career Development STT Telkom, sembari menambahkan bahwa TAK bisa jadi nilai plus mahasiswa mencari kerja dan beasiswa.

Menurut Wiyono, pentingnya soft skill dalam mencetak lulusan sebenarnya sudah disadari sejak lama oleh kalangan pendidik. Namun, selama ini hanya “dititipkan” ke kurikulum dan belum mendapat perhatian khusus. Selain itu, memang ada keterbatasan waktu dalam bobot SKS. “Kesalahan penerjemahan kurikulum, menyebabkan proses kuliah hanya knowledge delivery, bukannya kompetensi. Arah pendidikan kita selama ini memang lebih banyak mendidik orang jadi ilmuwan. Padahal soft skill juga dibutuhkan dunia industri kita,” ungkap Wiyono.

Menurut Ichsan S. Putra, Direktur Direktorat Pendidikan ITB, yang juga penulis buku Sukses dengan soft Skills , Bagaimana Meningkatkan Kemampuan Interaksi Sosial Sejak Kuliah, apa yang dipelajari selama perkuliahan, paling hanya terpakai beberapa persen, kecuali menjadi pengajar atau peneliti. Teori mungkin tidak akan tersentuh lagi. Tapi penerapan teorilah yang dibutuhkan. Namun demikian, bukan berarti kuliah tidak penting. Menurutnya, kuliah amat berguna untuk investasi masa depan. Salah satu yang dilatih dalam perkuliahan adalah belajar untuk belajar. Belajar untuk melakukan proses, agar logika dan keterampilan kita terasah.

Pentingnya Softskill

Mengapa ?

Dunia kerja percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja tetapi juga piawai dalam aspek soft skillnya. Dunia pendidikanpun mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill.

Adalah suatu realita bahwa pendidikan di Indonesia lebih memberikan porsi yang lebih besar untuk muatan hard skill, bahkan bisa dikatakan lebih berorientasi pada pembelajaran hard skill saja. Lalu seberapa besar semestinya muatan soft skill dalam kurikulum pendidikan?, kalau mengingat bahwa sebenarnya penentu kesuksesan seseorang itu lebih disebabkan oleh unsur soft skillnya.

Jika berkaca pada realita di atas, pendidikan soft skill tentu menjadi kebutuhan urgen dalam dunia pendidikan. Namun untuk mengubah kurikulum juga bukan hal yang mudah. Pendidik seharusnya memberikan muatan-muatan pendidikan soft skill pada proses pembelajarannya. Sayangnya, tidak semua pendidik mampu memahami dan menerapkannya. Lalu siapa yang harus melakukannya? Pentingnya penerapan pendidikan soft skill idealnya bukan saja hanya untuk anak didik saja, tetapi juga bagi pendidik.


Apa ?

Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan diluar kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan kemampuan intra dan interpersonal.
Secara garis besar soft skill bisa digolongkan ke dalam dua kategori : intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill mencakup : self awareness (self confident, self assessment, trait & preference, emotional awareness) dan self skill ( improvement, self control, trust, worthiness, time/source management, proactivity, conscience). Sedangkan interpersonal skill mencakup social awareness (political awareness, developing others, leveraging diversity, service orientation, empathy dan social skill (leadership,influence, communication, conflict management, cooperation, team work, synergy)

Pada proses rekrutasi karyawan, kompetensi teknis dan akademis (hard skill) lebih mudah diseleksi. Kompetensi ini dapat langsung dilihat pada daftar riwayat hidup, pengalaman kerja, indeks prestasi dan ketrampilan yang dikuasai. Sedangkan untuk soft skill biasanya dievaluasi oleh psikolog melalui psikotes dan wawancara mendalam. Interpretasi hasil psikotes, meskipun tidak dijamin 100% benar namun sangat membantu perusahaan dalam menempatkan ‘the right person in the right place’.

Hampir semua perusahaan dewasa ini mensyaratkan adanya kombinasi yang sesuai antara hard skill dan soft skill, apapun posisi karyawannya. Di kalangan para praktisi SDM, pendekatan ala hard skill saja kini sudah ditinggalkan. Percuma jika hard skill oke, tetapi soft skillnya buruk. Hal ini bisa dilihat pada iklan-iklan lowongan kerja berbagai perusahaan yang juga mensyaratkan kemampuan soft skill, seperi team work, kemampuan komunikasi, dan interpersonal relationship, dalam job requirementnya. Saat rekrutasi karyawan, perusahaan cenderung memilih calon yang memiliki kepribadian lebih baik meskipun hard skillnya lebih rendah. Alasannya sederhana : memberikan pelatihan ketrampilan jauh lebih mudah daripada pembentukan karakter. Bahkan kemudian muncul tren dalam strategi rekrutasi „ Recruit for Attitude, Train for Skill“.

Hal tersebut menunjukkan bahwa : hard skill merupakan faktor penting dalam bekerja, namun keberhasilan seseorang dalam bekerja biasanya lebih ditentukan oleh soft skillnya yang baik.
Psikolog kawakan, David McClelland bahkan berani berkata bahwa faktor utama keberhasilan para eksekutif muda dunia adalah kepercayaan diri, daya adaptasi, kepemimpinan dan kemampuan mempengaruhi orang lain. Yang tak lain dan tak bukan merupakan soft skill.


Bagaimana ?

Para ahli manajemen percaya bahwa bila ada dua orang dengan bekal hard skill yang sama, maka yang akan menang dan sukses di masa depan adalah dia yang memiliki soft skill lebih baik. Mereka adalah benar-benar sumber daya manusia unggul, yang tidak hanya semata memiliki hard skill baik tetapi juga didukung oleh soft skill yang tangguh.

Pada posisi bawah, seorang karyawan tidak banyak menghadapai masalah yang berkaitan dengan soft skill. Masalah soft skill biasanya menjadi lebih kompleks ketika seseorang berada di posisi manajerial atau ketika dia harus berinteraksi dengan banyak orang. Semakin tinggi posisi manajerial seseorang di dalam piramida organisasi, maka soft skill menjadi semakin penting baginya. Pada posisi ini dia akan dituntut untuk berinteraksi dan mengelola berbagai orang dengan berbagai karakter kepribadian. Saat itulah kecerdasan emosionalnya diuji.

Umumnya kelemahan dibidang soft skill berupa karakter yang melekat pada diri seseorang. Butuh usaha keras untuk mengubahnya. Namun demikian soft skill bukan sesuatu yang stagnan. Kemampuan ini bisa diasah dan ditingkatkan seiring dengan pengalaman kerja. Ada banyak cara meningkatkan soft skill. Salah satunya melalui learning by doing. Selain itu soft skill juga bisa diasah dan ditingkatkan dengan cara mengikuti pelatihan-pelatihan maupun seminar-seminar manajemen. Meskipun, satu cara ampuh untuk meningkatkan soft skill adalah dengan berinteraksi dan melakukan aktivitas dengan orang lain.


Pentingnya Softskill


SOFT SKILL
Dunia kerja percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja tetapi juga piawai dalam aspek soft skillnya.

SOFT SKILL

Mengapa ?
Dunia kerja percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja tetapi juga piawai dalam aspek soft skillnya. Dunia pendidikanpun mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill.

Adalah suatu realita bahwa pendidikan di Indonesia lebih memberikan porsi yang lebih besar untuk muatan hard skill, bahkan bisa dikatakan lebih berorientasi pada pembelajaran hard skill saja. Lalu seberapa besar semestinya muatan soft skill dalam kurikulum pendidikan?, kalau mengingat bahwa sebenarnya penentu kesuksesan seseorang itu lebih disebabkan oleh unsur soft skillnya.

Jika berkaca pada realita di atas, pendidikan soft skill tentu menjadi kebutuhan urgen dalam dunia pendidikan. Namun untuk mengubah kurikulum juga bukan hal yang mudah. Pendidik seharusnya memberikan muatan-muatan pendidikan soft skill pada proses pembelajarannya. Sayangnya, tidak semua pendidik mampu memahami dan menerapkannya. Lalu siapa yang harus melakukannya? Pentingnya penerapan pendidikan soft skill idealnya bukan saja hanya untuk anak didik saja, tetapi juga bagi pendidik.


Apa ?

Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan diluar kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan kemampuan intra dan interpersonal.

Secara garis besar soft skill bisa digolongkan ke dalam dua kategori : intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill mencakup : self awareness (self confident, self assessment, trait & preference, emotional awareness) dan self skill ( improvement, self control, trust, worthiness, time/source management, proactivity, conscience). Sedangkan interpersonal skill mencakup social awareness (political awareness, developing others, leveraging diversity, service orientation, empathy dan social skill (leadership,influence, communication, conflict management, cooperation, team work, synergy)


Pada proses rekrutasi karyawan, kompetensi teknis dan akademis (hard skill) lebih mudah diseleksi. Kompetensi ini dapat langsung dilihat pada daftar riwayat hidup, pengalaman kerja, indeks prestasi dan ketrampilan yang dikuasai. Sedangkan untuk soft skill biasanya dievaluasi oleh psikolog melalui psikotes dan wawancara mendalam. Interpretasi hasil psikotes, meskipun tidak dijamin 100% benar namun sangat membantu perusahaan dalam menempatkan ‘the right person in the right place’.

Hampir semua perusahaan dewasa ini mensyaratkan adanya kombinasi yang sesuai antara hard skill dan soft skill, apapun posisi karyawannya. Di kalangan para praktisi SDM, pendekatan ala hard skill saja kini sudah ditinggalkan. Percuma jika hard skill oke, tetapi soft skillnya buruk. Hal ini bisa dilihat pada iklan-iklan lowongan kerja berbagai perusahaan yang juga mensyaratkan kemampuan soft skill, seperi team work, kemampuan komunikasi, dan interpersonal relationship, dalam job requirementnya. Saat rekrutasi karyawan, perusahaan cenderung memilih calon yang memiliki kepribadian lebih baik meskipun hard skillnya lebih rendah. Alasannya sederhana : memberikan pelatihan ketrampilan jauh lebih mudah daripada pembentukan karakter. Bahkan kemudian muncul tren dalam strategi rekrutasi „ Recruit for Attitude, Train for Skill“.

Hal tersebut menunjukkan bahwa : hard skill merupakan faktor penting dalam bekerja, namun keberhasilan seseorang dalam bekerja biasanya lebih ditentukan oleh soft skillnya yang baik.
Psikolog kawakan, David McClelland bahkan berani berkata bahwa faktor utama keberhasilan para eksekutif muda dunia adalah kepercayaan diri, daya adaptasi, kepemimpinan dan kemampuan mempengaruhi orang lain. Yang tak lain dan tak bukan merupakan soft skill.


Bagaimana ?

Para ahli manajemen percaya bahwa bila ada dua orang dengan bekal hard skill yang sama, maka yang akan menang dan sukses di masa depan adalah dia yang memiliki soft skill lebih baik. Mereka adalah benar-benar sumber daya manusia unggul, yang tidak hanya semata memiliki hard skill baik tetapi juga didukung oleh soft skill yang tangguh.

Pada posisi bawah, seorang karyawan tidak banyak menghadapai masalah yang berkaitan dengan soft skill. Masalah soft skill biasanya menjadi lebih kompleks ketika seseorang berada di posisi manajerial atau ketika dia harus berinteraksi dengan banyak orang. Semakin tinggi posisi manajerial seseorang di dalam piramida organisasi, maka soft skill menjadi semakin penting baginya. Pada posisi ini dia akan dituntut untuk berinteraksi dan mengelola berbagai orang dengan berbagai karakter kepribadian. Saat itulah kecerdasan emosionalnya diuji.

Umumnya kelemahan dibidang soft skill berupa karakter yang melekat pada diri seseorang. Butuh usaha keras untuk mengubahnya. Namun demikian soft skill bukan sesuatu yang stagnan. Kemampuan ini bisa diasah dan ditingkatkan seiring dengan pengalaman kerja. Ada banyak cara meningkatkan soft skill. Salah satunya melalui learning by doing. Selain itu soft skill juga bisa diasah dan ditingkatkan dengan cara mengikuti pelatihan-pelatihan maupun seminar-seminar manajemen. Meskipun, satu cara ampuh untuk meningkatkan soft skill adalah dengan berinteraksi dan melakukan aktivitas dengan orang lain.



Sumber : Dari berbagai sumber

manajemen diri

Manajemen Diri

Setiap orang mempunyai tujuan hidup. Tujuan hidup setiap orang berbeda-beda. Karena mereka memiliki pemikiran yang berbeda, dan juga keinginan yang berbeda dalam kehidupannya. Ada yang sangat berambisi, biasa saja, dan ada pula yang hanya menjalani apa yang sudah tuhan takdirkan.

Tidak mudah menjalani tujuan hidup yang sudah kita rencanakan, karena terkadang rencana yang sudah kita ingin jalankan terbentur oleh kenyataan yang ada. Karena kita tidak mempunyai kuasa apapapun untuk dapat menentukan apakah tujuan yang sudah kita tentukan itu dapat berjalan dengan baik. Karena ada Tuhan yang menentukan dan mempunyai kuasa atas segala hal yang ada di dunia ini. Jika DIA sudah menentukan tidak apakah kita dapat merubahnya. Oleh sebab itu kita hanya dapat berdoa agar tujuan yang sudah kita rancang dapat berjalan sesuai rencana.

Perencanaan tujuan hidup yang baik tidak mudah. Karena kita harus mampu konsisten dengan apa yang sudah kita rencanakan. Dan kita sudah memikirkan baik dan buruknya terlebih dahulu.Merencanakan tujuan hidup yang baik dengan cara manajemen diri.

Pengertian Manajemen Menurut James A.F. Stoner : Manajemen adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya dari anggota organisasi serta penggunaan sumua sumber daya yang ada pada organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Pengertian Manajemen Menurut Mary Parker Follet : Manajemen adalah suatu seni, karena untuk melakukan
suatu pekerjaan melalui orang lain dibutuhkan keterampilan khusus.
Manajemen diri adalah orang yang mampu untuk mengurus dirinya sendiri.

Sedangkan kemampuan untuk mengurus diri sendiri itu dilihat dari kemampuan untuk mengurus wilayah diri yang paling bermasalah. Dan yang paling biasa bermasalah dalam diri itu adalah hati. Oleh karena itu kita harus bisa menata hati.

Menata hati dan potensi yang ada di dalam diri diperlukan kecerdasan. Saat ini seseorang berkarya tidak cukup dengan kecerdasan rasional yaitu seseorang yang bekerja dengan rumus dan logika kerja saja, atau dengan kecerdasan emosional (Goleman, 1996) agar merasa gembira, dapat bekerjasama dengan orang lain, punya motivasi kerja, bertanggungjawab dan life skill lainnya. Dan satu hal lain yaitu kecerdasan spiritual agar seseorang merasa bermakna, berbakti dan mengabdi secara tulus, luhur dan tanpa pamrih yang menjajahnya (Zohar, 2002).

Jika diantara ketiganya kita satukan untuk dapat manata atau mamanaj diri, tidaklah mungkin semua yang sudah kita rencanakan dapat berjalan sesuai dengan harapan. Karena dari ketiga kecerdasan tersebut saling mendukung dalam menata diri.
Kesuksesan dapat dilihat dari kesuksesan seseorang dalam memanaj dirinya sendiri. Karena setelah dapat menata diri sendiri pasti orang itu akan dapat memimpin

Manajemen Diri – Mengatur Waktu untuk Mencapai Produktifitas

Tiga Tips untuk Menjadi Produktif

Pernahkah Anda merasa pada saat bekerja jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 menjelang makan siang padahal Anda belum sempat menyelesaikan satu pekerjaan pun. Sibuk tapi rasanya pekerjaan tidak produktif? Satu hal yang harus disadari bahwa kesibukan tidak sama dengan menjadi produktif. Anda bisa saja menghabiskan sekian jam tanpa menghasilkan apa-apa. Sounds familiar? Ada beberapa prinsip yang sebaiknya Anda pertimbangkan dalam manajemen waktu sehingga Anda bisa bekerja efektif:

1. Menyusun Rencana

Ada ungkapan yang mengatakan ”If you fail to plan, you plan to fail”. Apabila Anda menjalani hari Anda tanpa ada gambaran apa yang harus dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya, Anda akan menghabiskan sebagian besar waktu Anda bertanya ”Apa yang harus saya kerjakan sekarang ya?”. Rencana memberikan peta apa yang ada dihadapan Anda hari itu. Alokasikan sedikit waktu untuk menyusun rencana sehingga Anda bisa mengelompokkan tugas-tugas yang sesuai dan memberikan prioritas serta waktu pengerjaannya.

Susunlah rencana di pagi hari atau hari sebelumnya. Anda bisa mulai dari catatan kecil saja atau bahkan menyusunnya di kepala untuk sekedar memberikan sinyal kepada otak mengenai apa yang harus Anda selesaikan hari itu.

Gunakan strategi yang cerdas dalam menyusun rencana. Kapan biasanya Anda merasa energi Anda tinggi, baik mental maupun fisik? Buat saya biasanya waktu antara jam 10:00 sampai 12:00 adalah saat dimana saya sedang ”on fire”. Disaat itu saya manfaatkan untuk memulai atau menyelesaikan tugas-tugas dengan prioritas tinggi. Waktu yang tersisa biasanya saya gunakan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan dengan prioritas lebih rendah.

Rencana tidak bersifat kaku dan selalu terbuka untuk adjustment kapanpun. Jangan lupa untuk menyisipkan waktu untuk istirahat. Pada prinsipnya, Anda melakukan manajemen diri untuk Anda sendiri. Belajar mengelola waktu adalah latihan yang bagus untuk disiplin diri.

2. Fokus

Seringkali dalam bekerja kita membiarkan diri kita larut dalam beberapa pekerjaan sekaligus, istilahnya multi-tasking. Mungkin Anda mencoba menyenangkan boss Anda dengan mengiyakan semua permintaannya, tapi tanpa Anda sadari sebenarnya Anda justru membebani diri Anda dengan stress dan belum tentu juga apa yang Anda kerjaan akan berkualitas bagus.

Mengerjakan dua hal pada saat bersamaan bukan saja membagi perhatian Anda tetapi juga membuat Anda kurang fokus yang akibatnya butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Fokus dalam bekerja membuat kita lebih produktif dan mengurangi beban stress. Buat skala prioritas apabila Anda harus menyelesaikan beberapa pekerjaan dalam kurun waktu yang bersamaan.

3. Hindari Interupsi

Dua hal dalam dunia kerja sekarang ini yang menjadi sering menjadi sumber interupsi adalah: telepon dan email. Tentu saja interupsi ini tidak bisa dihindari tetapi gunakan keahlian Anda dalam manajemen diri untuk menanganinya:
• Jawab telepon dari orang-orang yang berkepentingan saja pada saat Anda sedang fokus bekerja. Apabila Anda harus terpaksa menjawab, usahakan waktunya seminimal mungkin. Anda bisa menelepon balik ketika Anda sudah agak bebas.
• Cek email disaat-saat tertentu saja.

Okay, ini tentunya sangat berat. Anda bisa coba. Apabila tidak mungkin, usahakan untuk tidak menjawab semua email tiap kali itu datang. Jawablah email yang berkaitan dengan pekerjaan Anda saat itu dan hindari multi-tasking.

Manajemen diri erat kaitannya dengan bagaimana Anda mengatur waktu Anda sehari-hari. Jangan biarkan faktor-faktor eksternal mengganggu produktifitas Anda. Apabila Anda produktif bukan hanya Anda sendiri yang senang tapi juga boss Anda. Hidup Anda lebih mudah dan stress pun berkurang...

Public speaking

Public Speaking and Leadership

Ada banyak sekali orang yang khawatir, grogi, atau takut, pada yang namanya "berbicara di depan publik". Di dalam orang-orang ini, termasuk juga para pemimpin dari berbagai perusahaan besar. Padahal, public speaking dan leadership adalah pasangan sehidup semati yang abadi. Bayangkan bahwa Anda harus berbicara di depan orang banyak, di suatu event rapat umum pemegang saham (RUPS) atau sesi pertemuan yang sejenis:
• Anggota dewan direksi, mengkhawatirkan laba yang rendah atau malah kondisi merugi.
• Para pemegang saham, kecewa karena turunnya nilai pasar saham, atau turunnya dividen jatah mereka.
• Kelompok LSM, berdemo atau memprotes praktek atau kebijakan perusahaan.
• Manajemen dan karyawan, mengkhawatirkan PHK.
Apakah Anda mau berbicara di hadapan audience seperti itu? Mungkin Anda tidak mau, tapi Anda harus. Bagaimanakah caranya agar Anda bisa meninggalkan jejak-jejak impresi yang positif bagi mereka?


DUA HAL UNTUK MENUJU SUKSES: PUBLIC SPEAKING DAN LEADERSHIP

Untuk menciptakan sebuah presentasi yang powerful, Anda harus terkoneksi dengan pesan Anda. Semakin Anda intim dengan topiknya -- dengan kata lain, semakin yakin Anda berkaitan dengan topik itu, alias semakin PD Anda tentang topik itu, ditambah dengan keinginan untuk berbagi dengan orang lain, maka akan semakin powerful presentasi Anda.

Bayangkan ada dua orang pembicara. Seorang berbicara tentang sesuatu yang telah dipelajarinya, dan seorang yang lain berbicara tentang sesuatu yang ia telah hidupi di dalamnya. Di manakah letak perbedaannya?

Pembicara pertama, pengetahuannya adalah sumber pengetahuan sekunder yang didasarkan pada pengalaman orang lain. Pembicara ini lebih "dekat ke otak", lebih intelek. Itu bagus. Hanya saja, cenderung tidak meninggalkan jejak impresi yang permanen.

Pembicara kedua, pengetahuannya adalah mata air utama. Ia bukan tentang sumber mata air. Ialah mata air itu. Pembicara itu bukan sumber pengetahuan, pembicara itulah pengetahuan. Pembicara itu punya emosi, humor yang alamiah tentang suka-duka yang dialami, dan mata batin yang peka akan bidangnya. Semakin banyak pembicara mendasarkan presentasinya pada pengalaman pribadi, semakin baik presentasinya. Begitu pula yang berlaku untuk kepemimpinan.

Para pemimpin yang powerful, adalah para pemimpin yang telah memimpin dirinya sendiri. Buku teks dan sekolah bisnis memang amat membantu. Lebih dari itu, memiliki visi, semangat, dan keberanian, adalah jiwa dari buku teks dan sekolah bisnis yang telah dienyamnya. Itulah yang lebih diperhitungkan. Dan ingatlah bahwa sesungguhnya kualitas dan karakter ini telah ada di dalam diri Anda!

Powerful leadership dan powerful presentation punya hubungan yang intim. Powerful leadership datang dari pengetahuan mendalam tentang diri sendiri. Powerful presentation datang dari kemampuan mengekspresikan diri dengan efektif. Jadi, amatlah penting bagi Anda, untuk mengembangkan keduanya sekaligus.

MEMIMPIN DARI DALAM

Orang-orang yang telah lama mempelajari manusia, akan sampai pada kesimpulan bahwa: Kepemimpinan datangnya dari dalam. Ini artinya, Anda tidak berbeda dari Bill Gates, Peter Munk, Ted Rogers, Michael Cowpland dan sebagainya. Anda semua adalah bibit unggul yang sama.

Ada beberapa keahlian penting yang bisa Anda pelajari, untuk menumbuhkan serta menyuburkan bibit itu. Pilihan Anda untuk tidak atau mau mengembangkan keahlian ini, menentukan sukses atau tidaknya Anda.

Hal terbesar yang menghalangi Anda, adalah ketakutan Anda. Anda mungkin takut untuk berdiri dan ambil bicara, mengungkapkan isi hati dan pikiran Anda. Mungkin juga, Anda khawatir akan menuai kritik dan cemooh, atau merasa akan terlihat bodoh.
Berikut ini adalah lima langkah mendasar untuk mengembangkan kepemimpinan dari dalam.

1. Kenalilah Diri Sendiri
Plato telah mengatakannya 400 tahun sebelum masehi. Stephen Covey dan Anthony Robbins mengatakannya hari ini. "Ketahuilah nilai-nilai pribadi Anda. Dengarlah suara hati." Kepemimpinan lebih dari sekedar mengatur orang lain. Kepemimpinan dimulai dengan memimpin diri sendiri. Dengan memahami apa yang terpenting, melakukan hal yang terpenting, dan membangun integritas. Dengan membangun konsistensi antara pikiran, perkataan, dan perbuatan. Itu sebabnya, pemimpin yang paling efektif adalah pemimpin yang memimpin dengan contoh dan teladan.

2. Milikilah Visi dan Semangat
Visi adalah gambaran dari dalam, tentang sesuatu yang belum terjadi. Visi adalah impian, dengan rencana, dengan deadline, dan dengan tindakan. Mulailah dengan ide. Ide inilah yang merupakan cetak biru, seperti cetak biru untuk bangunan pencakar langit. Inilah yang memandu strategi dan tindakan, yang menjadikannya sebuah kenyataan.
Identifikasi ide visi Anda dengan mewaspadai apa yang sering melintas di kepala, dan apa yang hati Anda terus-menerus menyuarakannya. Suara di kepala Anda memanggil, hati Anda memanggil. Itulah panggilan untuk jiwa dan visi Anda.
Waspadai ini: paling..., lebih..., ter... Untuk merealisasi visi, Anda harus punya semangat. Apa yang membuat Anda sangat bersemangat? Itukah visi Anda? Apa yang Anda sangat bersemangat menceritakannya kepada orang lain? Itukah visi Anda?
Waspadai ini: desire, motivasi, misi, arah. Semangat adalah kekuatan yang mengubah ide menjadi kenyataan.

3. Ambillah Risiko
Anda mau membeli perusahaan yang penjualannya di seluruh dunia mencapai 700 milyar dollar tahun 1994, tapi hanya 300 milyar dolar di tahun 1995? Michael Cowpland mau. Ia membeli WordPerfect, dan dengan berani menantang Microsoft Word. Ia percaya bahwa dengan beberapa perubahan, WordPerfect akan menjadi pengolah kata nomor satu di dunia.
Ia mungkin kalah dari Microsoft Word, tapi ia telah berani mengambil risiko untuk kekaisaran softwarenya. Ia adalah contoh manusia yang menikmati risiko. Tidak selalu berhasil memang. Ia -- seperti pengambil risiko lainnya, hanya tahu satu hal: mereka memang "harus" melakukannya.
Ray Croc, Walt Disney atau Mary Kay Ash, harus "gagal" tujuh kali sebelum berhasil. Thomas Alva Edison, harus "gagal" 700 kali sebelum ia memberi kita bohlam. Dan ia mengatakan, "Saya telah 'berhasil' menemukan 700 cara yang salah untuk membuat lampu pijar." Kolonel Sanders, harus mendatangi lebih dari 900 restoran sebelum kita bisa menikmati Kentucky Fried Chicken.
Tanyalah diri Anda sendiri, berapa kali harus jatuh dan lecet, sebelum bisa naik sepeda. Sesungguhnyalah, Anda adalah pengambil risiko yang sejati.
Mengambil risiko adalah bertindak sesuai keyakinan. Mau merubah pikiran dan perbuatan. Menggeser paradigma, mengambil keputusan, menjaga komitmen, bicara nyeplos, dan berbagi kekuatan dengan orang lain.

4. Berkomunikasilah
Ini yang sedang kita pelajari dan dalami. Tahukah Anda, sebelum Windows 95 dirilis, tuan Gates telah menyewa seorang konsultan bicara? Tuan Gates belajar keras untuk berkomunikasi, mengkomunikasikan Windows-nya. Dan tahukah Anda? Anda sedang menggunakannya detik ini!
Ingatlah bahwa semua organisasi dan perusahaan adalah sama. Setiap orang di dalamnya, harus bisa mewakili organisasi atau perusahaan, kapan pun ia terlibat dalam komunikasi. Setiap orang di dalam organisasi dan perusahaan, adalah salesman. Belum lagi: meeting, rapat, telepon, surat, email, web, sms dan seterusnya.
Berkomunikasilah.

5. Ceklah Selalu Progres dan Hasil
Monitorlah segala sesuatu. Lihatlah bagaimana orang meluncurkan roket. Lihatlah bagaimana ruang UGD. Lihatlah apa yang terjadi di BMG. Lihatlah meeting setiap pagi di kantor Anda. Monitorlah segala sesuatu. Jagalah agar tetap di jalur.

POWER PRESENTATION
Rahasia power presentation ada pada:
• Kata-kata
• Bahasa tubuh
• Perlengkapan bicara
• Lingkungan bicara
• Persiapan bicara
Latihlah selalu, cara terbaik untuk menyuarakan poin terpenting Anda. Lakukan setidaknya untuk 60 detik. Jiwailah poin terpenting Anda.
Mulailah selalu dengan tersenyum. Simple, paling powerful. Aslilah, hangatlah, tuluslah, percaya dirilah.
Manfaatkan sedikit humor. Usahakan berasal dari pengalaman pribadi.
Padati dengan kata-kata positif.
Hidupkan bicara Anda. Beri perasaan, rasa saling percaya, dan antusiasme.
Gerakkanlah audience Anda. Mintalah mereka bertindak.

LEADERSHIP DAN POWER PRESENTATION: MENGAWINKAN KEDUANYA
Hadapi kenyataan. Anda adalah pemimpin. Anda mungkin CEO, presdir, direktur, general manager, manager, supervisor, atau ketua tim. Berkomunikasilah sesuai kenyataan itu.
Hadapi hal negatif dengan adu kepala. Jadilah domba garut. Mulailah dengan menyampaikan fakta. Bila perlu, mintalah bantuan ahli grafis profesional untuk mendukung presentasi Anda.
Dengar dan simak jika audience bicara, apapun bicaranya. Sekalipun mereka bicara gila, dengarkan juga.
Rilekslah.
Temukan gairah dan ghirah Anda. Berbagilah dengan mereka. Ingatlah bahwa setiap orang ikut bertanggung jawab untuk kesuksesan perusahaan atau organisasi.
Berlatihlah sebelumnya.
Senyum dan jagalah perspektif Anda.
Ambillah risikonya. Berbeda, tidak diharapkan, atau bahkan sedikit fun itu sudah biasa.


Memahami Presentasi
• Apa yang dimaksud dengan presentasi?
Presentasi pada dasarnya adalah komunikasi. Dalam presentasi, kita berkomunikasi dengan audien atau pendengar untuk menyajikan hal-hal atau materi yang dipresentasikan. Karena itu, dalam presentasi, kita perlu membuat pesan yang kita sampaikan itu
(i) Dapat dipahami dan dimengerti oleh pendengar,
(ii) Jelas dan menarik
(iii) Lugas, tidak bertele-tele
(iv) Singkat, padat, tapi logis
(v) Memberikan masukan yang konstruktif
(vi) Jelas tujuan dan hasil yang akan dicapai.
• Bagaimana menjadi presenter yang baik?
Karena dalam presentasi kita berkomunikasi, kita harus mengembangkan sikap mental untuk menjadi presenter yang baik. Ada empat hal yang dapat dianggap sebagai alat untuk mengembangkan sikap mental menjadi presenter yang baik, yakni
(a) rasa komunikasi,
(b) rasa humor,
(c) rasa kepemimpinan dan percaya diri, dan
(d) mengatasi demam mimbar.

a. Rasa komunikasi dapat diciptakan dengan empat cara berikut ini.
(i) Melihat pendengar tidak hanya dengan mata kepala, tetapi juga dengan mata hati.
(ii) Berwicara dengan sungguh-sungguh dan jujur.
(iii) Menjadikan wicara kita bersifat manusiawi (misalnya dalam menyapa pendengar dengan sapaan yang baik).
(iv) Menyiapkan vitalitas tubuh, artinya pewicara bersemangat dan antusias baik terhadap materi yang disajikan ataupun pada pendengarnya.

b. Rasa humor dapat membuat presentasi menjadi segar dan membuat pendengar tetap bersemangat dan betah mengikuti persentasi tersebut. Jangan membuat humor yang menyimpang dari topik pembicaraa.

c. Presenter adalah seorang pemimpin. Karena itu, ciptakan jiwa kepemimpinan dan keteladanan bagi audien. Untuk dapat berjiwa pemimpin, presenter harus memiliki rasa percaya diri. Untuk membangun rasa percaya diri tersebut, presenter dapat melakukan persiapan

(i) menyiapkan segalanya dengan baik,
(ii) membuat masalah menjadi sesuatu yang menarik
(iii) berbuat seolah-olah telah memiliki rasa percaya diri dan harga diri sepenuhnya, dan
(iv) kendalikan rasa percaya diri dan harga diri tersebut jangan sampai berlebihan.
d. Jika kita sebagai presenter merasa masih takut dan kita memiliki penyakit demam mimbar, lakukan hal-hal berikut ini untuk mengatasi demam mimbar.
(i) gunakan gerak tubuh seperlunya,
(ii) jangan memusatkan pikiran pada diri sendiri, tapi pusatkan pada materi,
(iii) berpeganglah pada mimbar seperlunya saja,
(iv) kendorkan otot-otot sekitar leher,
(v) anggap semua pendengar itu kawan,
(vi) pilih topik wicara yang menarik, kuasai topik tersebut,
(vii) buat persiapan yang cukup.



Presentasi Efektif dan Efisien
Presentasi yang efektif dan efisien memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
• Tujuannya jelas
Tentukan dan jelaskan tujuan presentasi sehingga audien tahu mau kita ajak ke mana mereka.
• Fokusnya pada pendengar dan hasil yang akan dicapai
Perilaku dan kondisi audien akan menentukan kecepatan, kelancaran, dan tingkat presentasi. Hasil yang diharapkan akan menentukan isi materi presentasi.
• Materinya dapat diukur dan kontekstual
Sampaikan materi yang dapat diukur dan kontekstual untuk mencapai hasil yang optimal, dan tidak membicarakan di luar konteks.
• Medianya sesuai
Gunakan media yang sesuai untuk membantu audien dalam memahami materi presentasi.
Tipe Presentasi
Paling tidak ada empat tipe presentasi. Tentukan presentasi kita dan metode presentasi yang sesuai. Berikut ini ada empat tipe presentasi.
• Persuasif: kita berusaha mempengaruhi audien agar mengikuti presentasi kita dan mau melakukan apa yang kita maksudkan.
• Eksplanatori: menjelaskan dan menyampaikan pesan secara lengkap. Pada umumnya, kita menjelaskan dan mengidentifikasi butir-butir pokok, kemudian menjelaskannya secara butir-butir pokok tersebut secara rinci.
• Instruksional: mengajarkan materi kepada audien. Dalam hal ini, persenter banyak melibatkan audien dalam presentasinya sebagaimana jika guru mengajar.
• Laporan: sampaikan laporan secara singkat, jelas, lugas, dan dapat dipahami. Data-data, contoh-contoh, dan bukti-bukti pendukung laporan hendaknya juga ditunjukkan dan disampaikan dalam presentasi.
Persiapan Presentasi
• Tentukan tujuan presentasi
a) Untuk apa presentasi ini? Mengapa saya mempresentasikannya?
b) Nyatakan hasil yang akan dicapai dalam presentasi.
c) Identifikasi materi pesan yang akan dipresentasikan.
d) Buat dan pilih konteks yang realistik.
e) Sesuaikan dengan latar belakang audien (pengalaman, pendidikan, keahlian)
f) Buat fokus target yang realistik.

• Analisislah audien
a) Identifikasi latar belakang audien
b) Identifikasi tujuan audien mengikuti presentasi penyuluhan
c) Cermati keunikan audien
d) Cermati kebiasaan audien
e) Perhatikan format dan pendekatan yang sesuai dengan audien

• Pra Perencanaan
a) Buat kerangka presentasi
b) Batasi tujuan
c) Tentukan tipe presentasinya
d) Tentukan pendekatan presentasinya
e) Buat kerangka urutan penyajian
f) Pilih media yang tepat
g) Pilih sumber bahan yang handal
h) Tulis rencana presentasi

• Pemilihan Materi
a) Sesuaikan dengan tujuan
b) Sesuaikan dengan audien
c) Sesuaikan dengan lama waktu
d) Fokuskan pada apa yang dipresentasikan
e) Seberapa jauh audien tahu materi itu
f) Seberapa banyak materi yang dapat dicakup
g) Apa yang harus disampaikan untuk mencapai tujuan
h) Apa materi yang harus disiapkan meskipun tidak dipresentasikan
i) Gunakan buku, jurnal, hasil penelitian, majalah, dan dokumen lain untuk sumber materi presentasi

• Penataan Materi
a) Susunlah materi secara sistematis
b) Buat materi yang mudah disampaikan awal, baru materi yang lebih sulit.

• Presentasi Materi
Lakukan presentasi dengan percaya diri. Yakinlah bahwa Anda bisa melakukannya.

KESIMPULAN

Memimpin di zaman ini, adalah memimpin dengan berbicara. Bicara di zaman ini, adalah berbicara dengan memimpin. Memimpin adalah lebih dari sekedar menyuruh-nyuruh orang lain. Memimpin juga bersuara. Memimpin juga berbicara.
Teladan dan contoh nyata ya, tapi bicara yang powerful juga. Teladan dan contoh sudah pasti. Tapi tanpa bicara, kepemimpinan Anda pasti sudah mati.